Nationalgeographic.co.id—Menurut cerita rakyat dari Desa Pela di Mahakam Tengah, pesut mahakam adalah penjelmaan dari manusia. Dahulu kala ada dua anak manusia nakal yang mengabaikan pesan ibu mereka agar jangan dulu memakan bubur ambul—semacam bubur sumsum—yang baru sang ibu masak agar bisa dimakan bersama-sama sekeluarga.
Namun, kedua anak itu justru menghabiskan bubur ambul yang baru matang dan masih sangat panas itu. Akibatnya, tubuh mereka jadi kepanasan. Mereka kemudian menceburkan diri ke sungai agar tidak panas. Namun setelah menceburkan diri ke sungai, tubuh mereka justru berubah menjadi pesut.
Di banyak desa lain di Mahakam Tengah, legenda asal-usul pesut mahakam punya versi agak berbeda, tetapi intinya tetap sama: jelmaan anak manusia. Alkisah, ada dua anak nakal kabur ke hutan. Saat tersesat, mereka menemukan pondok dan memakan nasi panas di dalamnya yang sudah dimantrai petapa sakti. Akibatnya, perut dan mulut mereka panas. Mereka lalu menceburkan diri ke sungai dan berubah menjadi pesut.
Dainelle Kreb, perempuan asal Belanda yang telah meneliti pesut mahakam di Mahakam Tengah sejak tahun 1997, menjelaskan bahwa nama pesut diambil dari bunyi yang keluar dari lubang napas di kepalanya saat muncul ke permukaan. “Ceritanya dia kalau bunyi itu memang, ‘Pssstt! Pssstt!’ Jadi namanya pesut,” papar Danielle pada Juli 2023 lalu. Danielle kini menjabat sebagai pimpinan program ilmiah Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI).
Menurut Laporan Teknis Akhir Survei Monitoring Pesut Mahakam dan Kualitas Air Periode Maret-November 2022 yang dibuat Yayasan Konservasi RASI, jumlah populasi pesut mahakam di DAS Mahakam hanya tersisa 62 individu. International Union for Conservation of Nature (IUCN) telah mengategorikan pesut mahakam sebagai subpopulasi Irrawaddy dolphin (Orcaella brevirostris) yang sangat terancam punah (critically endangered).
Laporan Yayasan Konservasi RASI lebih lanjut menyebut rata-rata kematian pesut mahakam per tahun selama 28 tahun (1995-2022) adalah 4,2 ekor. Sebanyak 70% kematian disebabkan oleh terperangkap rengge (jaring insang) dan kemudian tenggelam. Penyebab kematian nomor dua dan tiga adalah tertabrak kapal (9%) dan keracunan atau terkena limbah (7%).
Kabar baiknya, seiring waktu, kematian pesut akibat rengge telah berkurang secara signifikan. Pengubah permainan ini adalah alat akustik bawah air (pinger) yang dipasang Yayasan Konservasi Rasi di ratusan rengge nelayan. Pinger adalah perangkat elektronik kecil yang secara teratur mengeluarkan bunyi ultrasonik agar pesut mahakam tak mendekati jaring insang nelayan.
Inovasi pinger ini bermula saat Danielle dan suaminya, Budiono—kini menjabat sebagai direktur Yayasan Konservasi RASI, mendapat inspirasi dari pinger yang biasa dipakai perusahaan perminyakan di laut untuk menjauhkan lumba-lumba dan mamalia laut lainnya. Mereka kemudian mengontak sebuah pabrik di Inggris untuk membuat prototipe pinger yang cocok digunakan di DAS Sungai Mahakam. Akhirnya mereka menemukan formula pinger yang pas, yakni yang menghasilkan kebisingan suara 125 desibel dengan frekuensi 50-120 kilohertz.
Berdasarkan dokumen laporan tadi, saat ini Yayasan Konservasi RASI telah memasang 201 pinger di alat rengge milik 151 nelayan yang dipasang secara bertahap sejak Juli 2020. Hingga sekarang manfaat yang dirasakan nelayan adalah pesut tidak merusak rengge dan tidak makan ikan dari rengge.
“Ternyata itu win-win solution. Dia (nelayan) yang pakai [pinger] katanya rengge jadi nggak dirusak, malahan tangkapan ikannya jadi lebih besar,” ujar Danielle yang kerap dijuluki sebagai ibu pesut mahakam.
Pinger yang RASI gunakan disebut "banana pinger" lantaran berbentuk seperti pisang. Karena keberhasilannya di Mahakam, pinger dengan formula RASI itu kini juga telah digunakan di Sungai Indus di Pakistan, Sungai Gangga di India, serta Sungai Amazon di Amerika Selatan untuk melindungi jenis lumba-lumba air tawar lainnya yang masih tersisa di bumi ini.
Baca Juga: Desa Pela, Desa Wisata dan Konservasi yang Progresif di Mahakam Tengah
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR