Pesut mahakam yang muncul itu kemungkinan adalah Fiona yang sudah berusia lanjut sehingga dijuluki juga sebagai “nenek Fiona”. Kondisi tubuh Fiona tua sudah lemah. Fiona sudah tak kuasa berenang melawan arus sungai menuju hulu Sungai Mahakam seperti para anggota kelompoknya yang lebih muda. Jadi, meski Sungai Pela ketika itu sedang sangat surut, Fiona masih kerap berkeliaran di sana karena tak kuat mengikuti kelompoknya.
Danielle pernah menyebut Fiona sebagai “pesut mahakam betina paling dominan dan paling setia di Sungai Pela, anak sungai kecil yang menghubungkan Danau Semayang dengan Sungai Mahakam.” Penampilannya yang bungkuk membuatnya mudah untuk dikenali.
Meski sudah menopause, renta, dan lemah, Fiona mengemban peran besar di dalam kelompoknya. Peran vitalnya adalah merawat anak pesut lain dan melatihnya agar bisa bertahan di usia-usia awal kehidupannya. Setelah besar, anak pesut itu akan bisa hidup secara mandiri bersama kelompoknya yang kerap bermigrasi dari hulu hingga hilir Sungai Mahakam.
“Jadi kalau di sini, di dunia lumba-lumba, kalau misalnya dia sudah tidak reproduktif lagi, dia punya peran penting sekali. Merawat anak atau memimpin kelompok. Itu malah betina yang memimpin,” seru Danielle bersemangat.
Pesut adalah mamalia air yang punya sistem sosial dan emosi yang sangat kuat. Danielle pernah melihat bayi pesut yang telah mati tetap dibawa-bawa oleh kelompoknya. Dia juga pernah menyaksikan sekelompok pesut rela bertarung melawan seekor buaya yang hendak memakan tubuh bayi itu.
“Jadi ada buaya yang mau makan bayi [pesut] yang sudah mati. Jadi kelompok [pesut] itu mengusir, mau berkelahi dengan buaya sehingga dia melepastkan si bayi yang sudah mati,” tutur Danielle.
Besarnya pemahaman Danielle soal pesut mahakam menggambarkan betapa besar rasa cintanya pada mamalia air itu. Bahkan, Budiono sang suami menjawab cepat “pesut” saat ditanya siapa yang lebih dicintai Danielle: Budiono atau pesut mahakam?
“Kalau dibanding anaknya dengan pesut, jelas anaknya,” tambah Budiono yang telah memiliki seorang anak bernama Rhaudatul Jannah Kreb dari Danielle Kreb.
Danielle tertawa setelah diceritakan ulang jawaban Budiono. Namun dia tak menampik dirinya memang lebih mencintai pesut mahakam ketimbang suaminya saat dihadapkan dengan pertanyaan yang sama. “Seperti anak,” kata Danielle soal pesut mahakam. Jadi pantas saja banyak orang menjuluki Danielle sebagai ibu pesut mahakam karena perempuan itu pun telah menganggap pesut sebagai anaknya.
Menggunakan hidrofon, Danielle pernah mendengar suara pesut mahakam di bawah air. “Kayak bayi memang,” seru Danielle. “Jadi itu menggemaskan sekali itu suaranya di bawah air. Itu membuat saya terpesona.”
Selain terpesona pada suara pesut, Danielle juga jatuh cinta pada wajahnya. “Cara mereka mengintip, senyumnya. Mereka selalu tersenyum.”
Danielle pernah juga bertatap-tatapan dengan pesut dari atas perahu seolah pesut itu sedang mengatakan sesuatu kepadanya dan itu membuatnya sangat peduli pada pesut. “Mereka punya suara, tapi suara mereka tidak didengar oleh manusia,” tegasnya.
Namun, bagaimanapun, cintanya pada pesut membuat rasa tresna pada suaminya surut. “It’s different kind of love. Tapi sama dia (Budiono) saya juga cinta. Tak bisa hidup tanpanya juga,” kata Danielle seperti menggombal di hadapan suaminya.
Bisa dibilang, perjuangan konservasi pesut mahakam di perairan Desa Pela dan wilayah lain di DAS Mahakam Tengah bermula dari kegigihan pasangan suami-istri itu. Lewat RASI, selama bertahun-tahun Danielle dan Budiono memperjuangkan agar munculnya kebijakan-kebijakan yang berpihak pada pelestarian pesut mahakam.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR