Oleh Nobel Daniel Matthew Rajagukguk dari SMA Negeri 8 Jakarta
Nationalgeographic.co.id—Setiap senja, aku selalu menikmati pemandangan senja dari rumah kecilku yang terletak di pinggiran kota Jakarta. Di tempat inilah, bersama segelas teh hangat, aku merenung tentang masa depan. Kata banyak orang, adalah surga dunia meratapi pemamdangan indah senja dengan segelas teh disertai pemikiran dan imajinasi yang tak terbatas.
Lalu tiba-tiba, isu yang kerap diabaikan oleh banyak orang muncul pada benak pikiranku yaitu mengenai krisis iklim yang kerap terjadi di masa globalisasi.
Pertanyaan-pertanyaan ini berawal dari renungan kecil yaitu "Bagaimana jika pada masa depan tidak ada lagi kesempatan untuk memandang pemandangan yang sangat indah ini?" Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan yang lebih mendalam yaitu "Bagaimana masa depan anak-cucu kita jika dunia terus tenggelam dalam asap karbon yang kian membumbung tinggi?"
Setiap kali aku berjalan di jalan-jalan kota besar, bayangan kemacetan, polusi, dan deru mesin yang tak pernah berhenti melintas di kepalaku. "Namun, apakah yang bisa dilakukan oleh orang sepertiku?" Pertanyaan tersebut terus menghantuiku. Terkadang aku merasa kecil, tak berdaya di tengah krisis lingkungan global yang sepertinya jauh dari kendali pribadi.
“Apa daya seorang anak yang masih dibangku SMA?” ucapku dalam hati. Namun anehnya, kali ini aku merasa berbeda. Hari ini aku mencoba untuk memutar otak mengenai bagaimana cara aku dapat berkontribusi dalam isu ini. Aku mulai menyadari bahwa ada kekuatan di balik setiap tindakan kecil yang kita lakukan.
Aku pun teringat beberapa waktu lalu, aku menghadiri sebuah lokakarya kecil di komunitas tempatku tinggal. Pembicaranya adalah seorang pemuda bernama Kak Rahmat, seorang aktivis lingkungan yang mendedikasikan hidupnya untuk mengurangi jejak karbon. Dia bercerita dengan penuh semangat, menyebutkan bagaimana dunia saat ini berada di ambang krisis iklim yang semakin memburuk, dan jika kita tidak mengambil tindakan segera, dampaknya akan melampaui yang bisa kita bayangkan.
"Apa itu jejak karbon?" salah satu peserta bertanya.
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan pembuka yang terdengar sederhana nan sepele, namun tanpa disadari pertanyaan ini merupakan salah satu langkah awal dalam menanggapi krisis iklim yang sedang kita alami. Jejak karbon, jelas Rahmat, adalah total emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya yang dihasilkan oleh aktivitas manusia—seperti penggunaan kendaraan bermotor, pembakaran bahan bakar fosil, hingga produksi makanan dan barang-barang yang kita konsumsi setiap hari.
Kak Rahmat melanjutkan pernyataannya dengan kutipan singkat namun bermakna yaitu "Setiap tindakan kita, baik kecil maupun besar. Pasti akan meninggalkan jejak di Bumi ini".
Kemudian Kak Rahmat pun mulai menuturkan kisahnya sendiri, bagaimana ia mulai mengurangi jejak karbon pribadinya.
Baca Juga: Ribuan Tahun Jadi 'Lemari Pembeku', Kenapa Arktik Kini Jadi Penyumbang Emisi?
"Awalnya, saya termotivasi dengan menonton sebuah tayangan dari kanal youtube National Geographic berjudul 'Global Warming 101'. Dari sana, saya terlarut untuk mendalami mengenai krisis iklim yang seharusnya menjadi urgensi utama umat manusia saat ini," ucap Kak Rahmat.
Dari sana ia melanjutkan ceritanya mengenai bagaimana cara ia mengambil langkah demi langkah sederhana untuk dapat mengikutsertakan diri dalam penanggulangan masalah ini.
Kak Rahmat berkata, "Saya mulai dari hal yang paling sederhana, contohnya dengan cara meminimalisir penggunaan plastik, menggunakan transportasi umum dibandingkan transportasi pribadi, serta mengadopsi pola hidup yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan."
Hal-hal ini mungkin terdengar sepele, tetapi dari percakapan malam itu, aku mulai menyadari satu hal: perubahan besar dimulai dari langkah kecil.
Beberapa minggu setelah lokakarya itu, aku memutuskan untuk memulai langkah kecilku. Aku memulai langkahku dari rumah kecilku. Listrik adalah hal pertama yang kucermati. Aku mengganti lampu rumahku dengan lampu LED yang lebih hemat energi, karena aku menyadari bahwasannya proses produksi listrik konvensional menyumbang banyak sekali emisi karbon penyebab krisis iklim.
Kemudian aku pun merenungi perkataan kak Rahmat dengan lebih dalam, aku mulai memikirkan soal transportasi. Dulu, aku kerap menggunakan motor untuk bepergian, bahkan untuk jarak yang dekat. Tapi kini, aku lebih memilih bersepeda ataupun menggunakan transportasi umum jika jarak tempuhnya cukup jauh.
Pada suatu kesempatan, orangtuaku berencana untuk membeli mobil yang baru. Tentunya hatiku langsung tergerak seketika untuk menyarankan mobil listrik sebagai opsi utama. Singkat cerita, setelah mengumpulkan uang, akhirnya orangtuaku berkesempatan untuk membeli mobil listrik ramah lingkungan, yaitu mobil Toyota jenis BZ4X BEV yang sepenuhnya memanfaatkan energi listrik sebagai bahan bakar.
Beranjak pada komunitasku di sekolaku yaitu OSIS, aku bekerja sama dengan sekolahku untuk mengadakan sesi diskusi dan sosialisasi untuk berbicara dengan teman-temanku mengenai pentingnya mengurangi emisi karbon beserta langkah-langkah sederhana yang dapat diambil dalam mengurangi jejak karbon.
Sebagian besar dari mereka skeptis dan bertanya-tanya pada awalnya. Mereka bertutur, "Apa yang bisa dilakukan oleh satu orang untuk melakukan sesuatu yang besar?" ucap mereka.
Tetapi aku terus meyakinkan mereka dengan berbagi cerita dan pengalamanku, layaknya Kak Rahmat yang pernah berbicara denganku. Perlahan-lahan, hati teman-temanku mulai tergerak.
Sampai-sampai salah satu guruku yang pada saat itu dapat menghadiri sosialisasiku yaitu Pak Jono (Kepala Sekolah). Bahkan membuat suatu kegiatan di mana kami diwajibkan untuk menanam pohon minimal satu di sekitar lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah.
Baca Juga: Sedimen Dasar Laut, 'Area Mati' yang Justru Penting dalam Ekosistem 'Blue Carbon'
Aku menyadari, ketika seseorang mulai bergerak, ada efek domino yang luar biasa. Tindakan kecil mulai bergulir menjadi gerakan yang lebih besar. Sebuah ide pun muncul untuk membentuk kelompok di sekolah kami, dengan tujuan mengurangi jejak karbon bersama-sama.
Nama kelompok itu sederhana, "Agen Hijau." Setiap anggota komunitas memiliki peran masing-masing, mulai dari mengorganisir perawatan pohon, hingga mengadakan lokakarya untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya krisis iklim.
Kami bahkan mulai mengajak sekolah-sekolah di sekitar sekolah kami untuk terlibat. Setiap hari Jumat, murid-murid dari sekolah dasar hingga SMA turut berpartisipasi dalam gerakan "Jumat Hijau," di mana mereka tidak hanya belajar tentang lingkungan di kelas, tapi juga mempraktikkan tindakan nyata seperti memilah sampah, menanam pohon, dan mendaur ulang barang-barang bekas.
Salah satu pencapaian besar dari "Agen Hijau" adalah program daur ulang yang kami inisiasi. Dalam program ini, setiap rumah disekitar sekolah kami diberikan dua tong sampah: yaitu satu untuk sampah organik, dan satu lagi untuk sampah anorganik. Kami bekerja sama dengan pihak kelurahan untuk memastikan bahwa sampah-sampah ini diangkut dan didaur ulang dengan benar.
Tidak hanya itu, saat ini kami juga sedang membuat suatu rancangan teknologi yang memanfaatkan alga dalam melakukan tugasnya mengonversi CO2 menjadi O2, layaknya seperti pohon. Teknologi ini kami namakan "Algae Photobioreactor." Setelah penelitian mendalam, kami mengetahui bahwa keefektifan teknologi ini tiga puluh sampai lima puluh kali lipat lebih besar daripada keefektifan pohon itu sendiri.
Meski upaya kami sudah terdengar cukup signifikan, kami menyadari bahwa langkah ini baru merupakan awalan. Harus disadari bahwa Bumi kita berada di persimpangan. Jika tindakan mengurangi jejak karbon tidak dilakukan secara masif dan kolektif, maka masa depan yang suram ditengah kelabu asap mungkin tak bisa dihindari.
Kak Rahmat pernah mengatakan dalam salah satu pertemuan komunitas kami yaitu, "Peningkatan suhu global hanya satu atau dua derajat Celsius mungkin terdengar sepele, tapi bagi Bumi, hal itu adalah bencana."
Kenaikan suhu global yang disebabkan oleh akumulasi gas rumah kaca akan memicu perubahan iklim yang ekstrem. Gletser mencair, permukaan laut naik, ekosistem laut dan darat terganggu, bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai akan semakin sering terjadi. Dalam skenario terburuk, kita bisa menghadapi kelangkaan pangan, air, bahkan tempat tinggal, terutama bagi negara-negara kepulauan seperti Indonesia.
Kak Rahmat juga bercerita tentang beberapa dampak nyata yang sudah mulai dirasakan di Indonesia. Di Jakarta, banjir semakin sering terjadi akibat curah hujan yang tinggi, sementara di wilayah lain seperti Nusa Tenggara, kekeringan menjadi masalah yang semakin parah.
Lalu di Papua, perubahan iklim telah mengganggu pola hidup masyarakat adat yang bergantung pada alam. Semua ini menjadi pengingat bahwa krisis iklim bukanlah sesuatu yang jauh di masa depan; ia sudah terjadi sekarang, dan memengaruhi kehidupan kita secara langsung.
Tindakan individu memang penting, namun dampak terbesar akan terasa ketika kita bergerak bersama-sama. Langkah kecilku, Kak Rahmat, dan komunitas "Agen Hijau" mungkin hanya setitik usaha di tengah lautan permasalahan global. Tapi aku percaya bahwa setitik itu bisa berubah menjadi ombak besar jika semakin banyak orang yang terlibat.
Aku berharap, melalui kisah ini, semakin banyak orang yang tersadar akan pentingnya mengurangi jejak karbon dimulai dari jejak karbon mereka sendiri. Bahwa tidak ada langkah yang terlalu kecil dalam upaya menyelamatkan Bumi. Dan yang terpenting adalah kesadaran bahwa krisis iklim bukan hanya masalah pemerintah atau organisasi pecinta lingkungan, tetapi merupakan tanggung jawab kita semua, di mana pun kita berada.
Di akhir hari, ketika aku duduk di teras rumah dan menyaksikan senja yang indah, aku merasa lebih tenang. Meski dunia ini menghadapi tantangan besar, aku tahu bahwa masih ada harapan.
Selama kita terus melangkah bersama, memperbaiki hubungan kita dengan Bumi, masa depan yang lebih baik masih mungkin diraih. Hal ini bukanlah hanya tentang hari ini, tetapi tentang hari esok.
Itulah pesan yang ingin kuteruskan, kepada siapa pun yang ingin mendengar bahwasannya: kita bisa menyelamatkan Bumi ini, satu langkah kecil demi satu langkah kecil dapat menjadi suatu hal yang besar seiring berjalannya waktu. Ingatlah kalimat ini. Kalau tidak dimulai dari kita, siapa lagi?
Artikel ini merupakan bagian kerjasama National Geographic Indonesia dan Toyota Indonesia dalam gelaran Toyota Eco Youth 13.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR