Nationalgeographic.co.id—Siapa yang tidak merasa nikmat saat menggaruk gigitan nyamuk yang gatal? Sensasi lega sesaat memang sulit ditolak. Namun, tahukah Anda bahwa di balik kenikmatan sesaat itu, terdapat mekanisme pertahanan tubuh yang sedang bekerja?
Para ilmuwan akhirnya menemukan jawaban mengapa menggaruk gigitan nyamuk bisa terasa begitu nikmat. Lebih dari itu, mereka juga menemukan bahwa garukan ternyata memicu respons kekebalan tubuh yang membantu melindungi kulit dari infeksi berbahaya. Setidaknya, inilah yang terjadi pada tikus yang menjadi objek penelitian.
Temuan menarik ini dipublikasikan pada tahun 2024 dalam jurnal Science. Studi ini memberikan dasar molekuler tentang bagaimana garukan dapat menyebabkan peradangan.
Aaron Ver Heul, seorang imunolog di Washington University School of Medicine di St. Louis, Missouri, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, memuji penelitian ini sebagai "ketat" dan "dilakukan dengan sangat baik".
Mengapa kita menggaruk?
Menggaruk adalah perilaku umum yang dilakukan oleh hampir semua hewan, meskipun tindakan ini dapat menyebabkan kerusakan pada kulit jika dilakukan secara berlebihan.
Alasan utama mengapa kita menggaruk adalah untuk menghilangkan parasit dan zat-zat yang menyebabkan iritasi pada kulit. “Namun, kami selalu berpikir mungkin ada alasan lain,” kata Ver Heul, seperti dilansir Nature. Lagipula, beberapa parasit, seperti nyamuk, sudah lama pergi saat gatal mulai terasa.
Seorang ahli imunologi kulit bernama Dan Kaplan, bersama dengan rekan-rekannya di University of Pittsburgh di Pennsylvania, melakukan penelitian untuk memahami lebih dalam tentang fenomena menggaruk.
Mereka melakukan percobaan dengan mengoleskan alergen sintetis pada telinga tikus. Alergen ini memicu dermatitis kontak alergi, yaitu peradangan kulit yang disebabkan oleh kontak dengan alergen seperti minyak pada poison ivy.
Dalam percobaan tersebut, tikus kontrol yang telinganya gatal mulai menggaruk. Akibatnya, telinga mereka menjadi bengkak dan dipenuhi dengan neutrofil, yaitu sejenis sel kekebalan. Neutrofil ini sebenarnya merupakan respons alami tubuh untuk melawan peradangan.
Namun, ada juga tikus yang tidak bisa menggaruk telinga mereka karena menggunakan kerah Elizabethan kecil, semacam 'kerucut memalukan' yang biasa dipakaikan pada anjing setelah operasi. Hasilnya, telinga tikus-tikus ini tidak terlalu bengkak dan mengandung lebih sedikit neutrofil dibandingkan dengan tikus kontrol.
Baca Juga: Empat Tahun Setelah Merebaknya COVID-19, Imun Kita Berevolusi
Selain itu, ada juga tikus hasil rekayasa hayati yang kekurangan neuron pengindera gatal. Tikus-tikus ini juga menunjukkan reaksi yang sama, yaitu peradangan yang lebih ringan.
Dari percobaan ini, para peneliti menyimpulkan bahwa tindakan menggaruk itu sendiri justru memperburuk peradangan pada kulit. Jadi, meskipun menggaruk dapat memberikan rasa lega sesaat, namun sebenarnya dapat memperparah kondisi peradangan pada kulit.
Dari gatal ke garukan
Para ilmuwan melakukan penelitian pada tikus untuk memahami lebih dalam mengenai apa yang terjadi pada kulit setelah seseorang menggaruk area yang gatal. Dalam penelitian tersebut, tikus-tikus dibiarkan menggaruk telinga mereka yang terasa gatal.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada area yang digaruk, neuron perasa sakit melepaskan suatu zat yang disebut substansi P. Substansi P ini merupakan pembawa pesan sistem saraf yang sangat kuat.
Substansi P tersebut kemudian mengaktifkan sel darah putih yang disebut sel mast. Sel mast ini memiliki peran penting dalam memicu gejala alergi. Ketika sel mast diaktifkan, mereka merekrut neutrofil ke area yang mengalami garukan, yang kemudian memicu terjadinya peradangan.
Sebelumnya, para peneliti telah mengetahui bahwa sel mast dapat diaktifkan secara langsung oleh alergen. Namun, penelitian ini mengungkap bahwa sel mast juga dapat diaktifkan secara tidak langsung melalui garukan dan serangkaian langkah yang diinisiasinya.
KOMENTAR