Dipicu keterbukaan?
Morgan dan Profesor Marcus Feldman dari Stanford University, dalam makalah mereka yang berjudul "Human culture is uniquely open-ended not uniquely cumulative," membahas tentang keterbukaan manusia.
Mereka mengajukan hipotesis baru yang menyatakan bahwa manusia mendominasi dan menjadi istimewa karena "keterbukaan", yaitu kemampuan kita untuk berkomunikasi dan memahami kemungkinan tak terbatas dalam hidup.
"Cara hewan berpikir tentang apa yang mereka lakukan membatasi cara budaya mereka dapat berevolusi," kata Morgan. "Salah satu caranya mungkin karena mereka tidak dapat membayangkan urutan yang rumit dengan mudah, atau mereka tidak dapat membayangkan sub-tujuan."
Morgan memberikan contoh, "Misalnya, ketika saya membuat sarapan untuk anak-anak saya di pagi hari, itu adalah proses bertingkat, multi-langkah. Pertama, saya perlu mengambil mangkuk dan panci serta peralatan lainnya. Kemudian saya perlu memasukkan bahan-bahan ke dalam panci dan mulai memasak, semuanya dalam jumlah dan urutan yang tepat. Lalu saya perlu memasaknya, mengaduk dan memantau suhu sampai mencapai konsistensi yang tepat, dan kemudian saya perlu menyajikannya."
"Setiap langkah ini adalah sub-tujuan, dan sub-tujuan ini memiliki langkah-langkah di dalamnya yang perlu saya jalankan dalam urutan yang benar, jadi keseluruhan ini adalah prosedur yang rumit," lanjutnya.
Otak manusia terus bekerja melampaui batas sistem ini. Kita mampu membangun dan mempertahankan urutan instruksi yang sangat rumit, dan inilah yang memungkinkan kita untuk melakukan serangkaian perilaku yang hampir tak terbatas. Inilah yang disebut dengan keterbukaan.
Melampaui budaya
Penelitian yang dilakukan oleh Morgan dan Feldman menawarkan perspektif baru dalam perbandingan budaya antara manusia dan hewan, tidak hanya dengan menelaah contoh-contoh yang ada, namun juga dengan memasukkan unsur pewarisan epigenetik dan efek orang tua pada hewan, yang sebelumnya belum banyak dieksplorasi oleh ilmuwan lain.
Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, Morgan dan Feldman menggunakan contoh semut pemotong daun sebagai representasi efek orang tua, serta belalang sebagai contoh dari pewarisan epigenetik kumulatif, untuk memperkaya analisis mereka.
Morgan menjelaskan bahwa meskipun pewarisan epigenetik dan efek orang tua keduanya menunjukkan stabilitas dan akumulasi pada spesies bukan manusia, proses ini pada akhirnya akan berhenti berkembang.
Beliau menambahkan, "Sama seperti budaya hewan, ada batasan yang dihadapi sistem ini dan yang menghentikan evolusinya." Hal ini menjadi poin penting dalam penelitian mereka, yang kemudian mengarah pada pertanyaan mendasar mengenai keistimewaan budaya manusia dibandingkan dengan hewan.
"Saya pikir pertanyaan kuncinya adalah apa yang istimewa dari budaya manusia, dan kami mencoba menjawabnya dengan membandingkan budaya manusia dengan budaya hewan, dengan epigenetik, dan dengan efek orang tua—sebanyak mungkin sistem yang berkembang yang dapat kami pikirkan," ungkap Morgan.
"Dan pada akhirnya, kami menyimpulkan bahwa hal yang istimewa dari budaya manusia adalah keterbukaannya. Ia dapat terakumulasi tetapi kemudian tidak pernah harus berhenti, ia terus berjalan," demikian pernyataan Morgan yang menyoroti inti perbedaan signifikan antara budaya manusia dan sistem lainnya.
Jadi Satu-satunya Dinosaurus yang Tersisa, Inikah Alasan Burung Selamat dari Kepunahan?
KOMENTAR