Bukti lain datang dari anak laki-laki dan pria yang lahir dengan kromosom X tambahan, yang juga memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit autoimun. Ini menunjukkan peran penting kromosom X dalam penyakit ini.
Xist Memicu Autoantibodi
Chang telah mempelajari molekul Xist selama bertahun-tahun. Pada tahun 2015, ia menemukan bahwa banyak protein yang bekerja dengan Xist terlibat dalam gangguan autoimun dan diserang oleh antibodi abnormal yang disebut autoantibodi.
Alih-alih melawan benda asing seperti kuman, autoantibodi secara keliru menyerang sel tubuh sendiri.
Untuk menguji apakah penonaktifan kromosom X yang salah menyebabkan lebih banyak wanita menderita penyakit autoimun, tim Chang merekayasa tikus jantan untuk menghasilkan molekul Xist, yang biasanya hanya ada di sel wanita.
Namun, molekul Xist saja tidak menyebabkan penyakit autoimun pada tikus jantan hasil rekayasa.
Hanya ketika peneliti menyuntikkan zat iritan ke tikus jantan yang dimodifikasi genetik ini, kadar autoantibodi meningkat dan memicu penyakit mirip lupus. Dengan adanya iritan, kadar autoantibodi pada tikus jantan penghasil Xist sama dengan tikus betina, dan lebih tinggi dari tikus jantan normal tanpa Xist.
Tikus hasil rekayasa ini juga menunjukkan kerusakan jaringan yang lebih luas dan tanda-tanda peradangan yang meningkat saat terpapar iritan.
Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dengan adanya Xist, diperlukan faktor kerentanan genetik atau pemicu lingkungan untuk menyebabkan penyakit autoimun yang lebih sering terjadi pada wanita.
Studi ini mengisyaratkan bahwa hanya ketika sel rusak, baik oleh pemicu lingkungan atau kerentanan genetik, molekul Xist dan protein pendampingnya bocor keluar dari sel dan memicu sistem kekebalan untuk menghasilkan autoantibodi terhadap kompleks protein Xist, yang kemudian memulai penyakit autoimun.
"Jadi, ini salah satu alasan utama mengapa kebanyakan wanita tidak terkena penyakit autoimun," kata Chang. "Meskipun setiap wanita mengekspresikan Xist di seluruh tubuh mereka."
Baca Juga: Cara Ilmiah Memilih Tempat Tinggal Agar Hidup Lebih Sehat dan Bahagia
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR