Abu vulkanik juga menjadi ancaman serius. Berbeda dengan abu dari kayu yang terbakar, abu vulkanik terdiri dari pecahan batuan tajam dan kaca vulkanik yang sangat kecil, berukuran kurang dari 2 mm.
Abu ini terbentuk ketika gas dalam magma yang naik ke permukaan mengembang dan meledakkan batuan yang mendingin di mulut gunung berapi. Selain berbahaya jika terhirup, abu vulkanik juga berat dan dapat menumpuk dengan cepat.
Akibatnya, abu bisa menyebabkan runtuhnya bangunan, pemadaman listrik, serta menyulitkan upaya pembersihan setelah letusan.
Apa Letusan Gunung Berapi Terbesar dalam Sejarah?
Letusan gunung berapi paling mematikan dalam sejarah terjadi pada tahun 1815, ketika Gunung Tambora di Indonesia meletus dengan dahsyat. Ledakan ini adalah salah satu yang paling kuat yang pernah tercatat, menciptakan kaldera atau kawah raksasa sepanjang 4 mil dan sedalam lebih dari 3.600 kaki. Awan panas yang membumbung hingga 28 mil ke atmosfer memicu aliran piroklastik yang menghancurkan wilayah di sekitarnya.
Dampak langsung dari letusan ini menyebabkan sekitar 10.000 kematian, tetapi bencana tersebut tidak berhenti di situ. Abu vulkanik dan gas yang terlontar ke atmosfer menutupi matahari, meningkatkan reflektivitas Bumi, dan menyebabkan penurunan suhu global.
Fenomena ini dikenal sebagai "Tahun Tanpa Musim Panas", di mana kekeringan, gagal panen, serta kelaparan melanda berbagai belahan dunia, menewaskan sekitar 82.000 orang lagi. Suasana gelap dan suram akibat letusan ini bahkan diyakini menginspirasi cerita-cerita gotik, seperti novel legendaris Frankenstein karya Mary Shelley.
Meskipun ada beberapa letusan besar lainnya dalam sejarah, aktivitas vulkanik saat ini sebenarnya tidak lebih sering dibandingkan satu dekade atau bahkan satu abad yang lalu. Setidaknya ada selusin gunung berapi yang meletus setiap hari.
Namun, dengan semakin canggihnya sistem pemantauan dan meningkatnya ketertarikan publik terhadap aktivitas vulkanik, berita tentang letusan kini lebih sering muncul di media massa dan media sosial. Seperti yang dikatakan Erik Klemetti, profesor geosains di Denison University, dalam artikelnya di The Washington Post:
"Dunia tidak menjadi lebih aktif secara vulkanik—kita hanya semakin sadar akan aktivitas vulkanik."
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR