Nationalgeographic.co.id—Minggu pagi (23/3/2024), Gunung Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), mengalami erupsi.
Letusan yang berlangsung selama 52 detik itu, meski tak menampakkan tinggi kolom abu karena pekatnya kabut, mengirimkan sinyal bahaya yang tak bisa diabaikan. Amplitudo 14.8 mm dan gemuruh yang terekam seismograf menjadi saksi bisu kekuatan alam yang tak terduga.
Bukan hanya letusan tunggal, serangkaian aktivitas seismik pun menyertai, gempa embusan, tremor harmonik, hingga gempa tektonik jauh, seolah alam sedang memberi peringatan keras.
Lava panas yang mengalir sejauh ribuan meter, menorehkan jejak kehancuran di lereng gunung, sementara abu vulkanik yang tak terlihat mengintai dengan bahaya yang tak terduga. Di tengah cuaca mendung dan hujan, status gunung yang kini berada di level IV (awas) mengisyaratkan ancaman yang nyata.
Lantas, mengapa gunung berapi seperti Lewotobi Laki-laki, yang tampak tenang, tiba-tiba meledak dengan kekuatan mengerikan? Apa yang sebenarnya terjadi di perut bumi, hingga magma yang mendidih itu terdorong keluar, melontarkan abu dan lava yang mematikan?
Dan lebih dari itu, apa saja bahaya yang mengintai di balik awan abu dan aliran lava? Mengapa kita harus begitu waspada terhadap amukan gunung berapi, dan bagaimana kita bisa melindungi diri dari bencana alam yang tak terhindarkan ini?
Mari kita telusuri lebih dalam misteri di balik letusan gunung berapi, dan memahami betapa dahsyatnya kekuatan alam yang tersembunyi di bawah permukaan bumi.
Arsitek alami Bumi
Gunung berapi adalah arsitek alami Bumi, membentuk lebih dari 80 persen permukaan planet ini dan menjadi fondasi bagi kehidupan untuk berkembang. Letusannya menciptakan pegunungan tinggi, kawah dalam, serta aliran lava yang luas.
Seiring waktu, batuan vulkanik mengalami pelapukan, melepaskan nutrisi penting yang menyuburkan tanah—mengubah lanskap tandus menjadi lahan subur tempat peradaban berkembang.
Gunung berapi dapat ditemukan di setiap benua, bahkan di Antartika. Saat ini, sekitar 1.500 gunung berapi di seluruh dunia masih dianggap berpotensi aktif, dengan 161 di antaranya berada di Amerika Serikat.
Baca Juga: Petaka Cairnya Es Antarktika, Bakal Picu 100 Gunung Berapi Meletus?
Namun, tidak semua gunung berapi meletus dengan cara yang sama. Beberapa meletus secara eksplosif—seperti Gunung Pinatubo pada tahun 1991—sementara yang lain mengeluarkan aliran lava perlahan, seperti aktivitas Gunung Kilauea di Hawaii pada tahun 2018.
Perbedaan ini bergantung pada komposisi magma di bawah permukaan. Magma yang lebih cair memungkinkan gas keluar dengan mudah, menghasilkan aliran lava yang lebih tenang, sementara magma yang lebih kental menjebak gas hingga tekanan meningkat dan akhirnya meletus dengan dahsyat.
Lantas, mengapa gunung berapi meletus? Bagaimana sebenarnya gunung berapi terbentuk? Apa saja bahaya dari gunung berapi? Bisakah kita memprediksi letusannya? Dan manakah letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah yang pernah mengguncang dunia?
Penyebab Gunung Berapi Meletus
Gunung api meletus terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Dari letusan-letusan seperti inilah gunung api terbentuk.
Hasil letusan gunung berapi berupa: gas vulkanik, lava dan aliran pasir serta batu panas, lahar, tanah longsor, gempa bumi, abu letusan, awan panas. Letusannya yang membawa abu dan batu dapat menyembur dengan keras hingga sejauh radius 18 km atau lebih, sedang lavanya bisa membanjiri daerah sejauh radius 90 km.
Letusan gunung berapi bisa menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar hingga sampai ribuan kilometer jauhnya dan bahkan bisa mempengaruhi putaran iklim di bumi ini. Tidak semua gunung berapi sering meletus. Gunung berapi yang sering meletus disebut gunung berapi aktif.
Gunung berapi biasanya menunjukkan tanda-tanda sebelum meletus, sehingga sangat penting bagi para ilmuwan untuk memantau aktivitas gunung berapi yang berada di dekat pemukiman penduduk.
Beberapa tanda peringatan yang umum meliputi gempa kecil, pembengkakan atau perubahan bentuk lereng gunung, serta peningkatan emisi gas dari kawah. Meskipun tanda-tanda ini tidak selalu berarti letusan akan terjadi dalam waktu dekat, mereka dapat membantu ilmuwan menilai kondisi gunung berapi ketika tekanan magma meningkat.
Namun, hingga saat ini tidak ada cara pasti untuk menentukan kapan tepatnya sebuah gunung berapi akan meletus, atau bahkan apakah letusan benar-benar akan terjadi. Gunung berapi tidak beroperasi seperti jadwal kereta api yang bisa diprediksi.
Ini berarti tidak ada gunung yang "telat" meletus, meskipun sering muncul berita yang menyebut suatu gunung "sudah waktunya" untuk erupsi. Setiap gunung memiliki siklusnya sendiri, dan letusan hanya terjadi ketika kondisi geologisnya benar-benar mendukung.
Baca Juga: Menjawab secara Ilmiah: Mengapa Ada Gunung Berapi dan Tidak Berapi?
Bagaimana Gunung Berapi Terbentuk?
Sebagian besar gunung berapi di dunia terbentuk di sepanjang batas lempeng tektonik Bumi—lapisan litosfer yang terus bergerak dan saling bertabrakan. Ketika dua lempeng bertemu, salah satu biasanya akan menyusup ke bawah yang lain dalam proses yang dikenal sebagai zona subduksi.
Saat lempeng yang tenggelam semakin dalam ke dalam mantel Bumi, suhu dan tekanan meningkat drastis. Kondisi ini menyebabkan pelepasan air dari mineral dalam batuan, yang pada gilirannya menurunkan titik leleh batuan di sekitarnya. Akibatnya, terbentuklah magma yang kemudian naik ke permukaan, membangunkan kembali gunung berapi yang sudah lama tidak aktif.
Namun, tidak semua gunung berapi terbentuk karena subduksi. Volkanisme hotspot adalah mekanisme lain yang dapat memicu terbentuknya gunung berapi. Dalam kasus ini, aktivitas magmatik terjadi di tengah lempeng tektonik, bukan di batasnya.
Zona panas di dalam mantel—disebut hotspot—mendorong magma menembus kerak bumi dan membentuk gunung berapi. Meskipun hotspot relatif tidak bergerak, lempeng tektonik terus bergeser perlahan di atasnya, menciptakan rangkaian gunung berapi atau kepulauan vulkanik, seperti yang terjadi pada Kepulauan Hawaii.
Apa Saja Bahaya dari Letusan Gunung Berapi?
Letusan gunung berapi tidak hanya berbahaya karena aliran lava. Ada berbagai ancaman lain yang bisa menimbulkan dampak mematikan. Oleh karena itu, penting untuk selalu mengikuti instruksi dari otoritas setempat selama aktivitas vulkanik berlangsung dan segera mengungsi jika diperlukan.
Salah satu bahaya paling mematikan adalah aliran piroklastik—longsoran material panas yang terdiri dari batuan, abu vulkanik, dan gas beracun yang meluncur menuruni lereng gunung dengan kecepatan hingga 700 km/jam.
Peristiwa ini pernah terjadi pada tahun 79 M, saat letusan Gunung Vesuvius menewaskan penduduk Pompeii dan Herculaneum dalam hitungan menit.
Selain itu, ada juga lahar, yaitu aliran lumpur vulkanik yang sangat berbahaya. Gelombang lumpur dan puing-puing ini dapat mengalir dengan cepat, menutupi dan menghancurkan seluruh permukiman yang ada di jalurnya.
Baca Juga: Bagaimana Letusan Gunung Berapi Toba Jadi Tersangka Kemacetan Genetik?
Abu vulkanik juga menjadi ancaman serius. Berbeda dengan abu dari kayu yang terbakar, abu vulkanik terdiri dari pecahan batuan tajam dan kaca vulkanik yang sangat kecil, berukuran kurang dari 2 mm.
Abu ini terbentuk ketika gas dalam magma yang naik ke permukaan mengembang dan meledakkan batuan yang mendingin di mulut gunung berapi. Selain berbahaya jika terhirup, abu vulkanik juga berat dan dapat menumpuk dengan cepat.
Akibatnya, abu bisa menyebabkan runtuhnya bangunan, pemadaman listrik, serta menyulitkan upaya pembersihan setelah letusan.
Apa Letusan Gunung Berapi Terbesar dalam Sejarah?
Letusan gunung berapi paling mematikan dalam sejarah terjadi pada tahun 1815, ketika Gunung Tambora di Indonesia meletus dengan dahsyat. Ledakan ini adalah salah satu yang paling kuat yang pernah tercatat, menciptakan kaldera atau kawah raksasa sepanjang 4 mil dan sedalam lebih dari 3.600 kaki. Awan panas yang membumbung hingga 28 mil ke atmosfer memicu aliran piroklastik yang menghancurkan wilayah di sekitarnya.
Dampak langsung dari letusan ini menyebabkan sekitar 10.000 kematian, tetapi bencana tersebut tidak berhenti di situ. Abu vulkanik dan gas yang terlontar ke atmosfer menutupi matahari, meningkatkan reflektivitas Bumi, dan menyebabkan penurunan suhu global.
Fenomena ini dikenal sebagai "Tahun Tanpa Musim Panas", di mana kekeringan, gagal panen, serta kelaparan melanda berbagai belahan dunia, menewaskan sekitar 82.000 orang lagi. Suasana gelap dan suram akibat letusan ini bahkan diyakini menginspirasi cerita-cerita gotik, seperti novel legendaris Frankenstein karya Mary Shelley.
Meskipun ada beberapa letusan besar lainnya dalam sejarah, aktivitas vulkanik saat ini sebenarnya tidak lebih sering dibandingkan satu dekade atau bahkan satu abad yang lalu. Setidaknya ada selusin gunung berapi yang meletus setiap hari.
Namun, dengan semakin canggihnya sistem pemantauan dan meningkatnya ketertarikan publik terhadap aktivitas vulkanik, berita tentang letusan kini lebih sering muncul di media massa dan media sosial. Seperti yang dikatakan Erik Klemetti, profesor geosains di Denison University, dalam artikelnya di The Washington Post:
"Dunia tidak menjadi lebih aktif secara vulkanik—kita hanya semakin sadar akan aktivitas vulkanik."
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR