Nationalgeographic.grid.id—Dalam rangka memperingati Hari Hutan Sedunia yang dirayakan secara global setiap 21 Maret, Global Environment Facility Small Grants Programme (GEF SGP) Indonesia bersama National Geographic Indonesia menyelenggarakan rangkaian kegiatan bertajuk Tradisi untuk Lingkungan: Melestarikan Lingkungan melalui Peran Kearifan Lokal.
Gelaran Tradisi untuk Lingkungan ini telah berlangsung dengan lancar pada Jumat pagi hingga malam, 21 Maret 2025, di Creative Hall, Mbloc Space, Jakarta.
Rangkaian kegiatan ini terdiri atas berbagai acara atau aktivitas seru. Mulai dari pameran foto bernuansa hutan, lokakarya fotografi, lokakarya kreasi pangan lokal dan hutan, lokakarya bisnis hijau dan lestari, penukaran pakaian bekas dengan pakaian hasil daur ulang, nonton bareng film panjang bertajuk “Harmoni”, pojok ramah lingkungan, hingga gelar wicara (talkshow) bersama para pakar.
Acara gelar wicara yang berlangsung pada sore itu menghadirkan banyak pakar. Acara ini bertujuan untuk mengangkat praktik-praktik kearifan lokal masyarakat adat dan komunitas di Indonesia yang telah terbukti efektif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan.
Dengan menggali pengetahuan tradisional, acara ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pemangku kebijakan, pelaku bisnis, dan masyarakat umum untuk mengadopsi prinsip-prinsip keberlanjutan yang ramah lingkungan.
Mengapa Kearifan Lokal?
Indonesia, sebagai negara dengan keanekaragaman hayati dan budaya tertinggi di dunia, memiliki kekayaan pengetahuan tradisional yang telah diwariskan turun-temurun.
Sistem tradisi seperti subak di Bali, sasi di Maluku, dan hutan larangan di Kalimantan adalah contoh nyata bagaimana kearifan lokal dapat menjadi solusi inovatif untuk mengatasi tantangan lingkungan modern, seperti deforestasi, polusi plastik, dan perubahan iklim.
“Kearifan lokal bukan hanya warisan budaya, tetapi juga solusi nyata untuk masalah lingkungan global. Melalui acara ini, kami ingin menunjukkan bahwa masa depan keberlanjutan bisa dimulai dari akar budaya kita sendiri," ujar Sidi Rana Menggala, Koordinator Nasional GEF SGP Indonesia.
Baca Juga: Kuak Kearifan Lokal dan Potensi Karimunjawa di Tengah Berbagai Ancaman
Mantan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Alue Dohong, menegaskan bahwa "kearifan lokal bisa diadopsi" untuk membantu kita memitigasi ancaman perubahan iklim. Sebagai orang Dayak, Alue memberi contoh kearifan lokal dari suku Dayak.
"Orang Dayak itu filosofis melihat alam, hutan, dan lingkungan itu ada tiga. Pertama, hutan itu dianggap ayah. Yang kedua, tanah atau bumi itu dianggap ibu. Dan yang ketiga, air itu dianggap darah," tutur Alue.
"Jadi kalau hutan itu rusak, berarti dia ngerusakin ayahnya. Tanah dikontaminasi dengan polusi, berarti dia ngerusak ibu. Apalagi kalau air dirusak-rusak, dibuang limbah macam-macam, berarti dia merusak darahnya sendiri," tegas dosen senior di Universitas Palangka Raya itu.
Kolaborasi Memajukan Kearifan Lokal untuk Bumi yang Lestari
Gelar wicara ini merupakan bagian dari upaya kolaboratif GEF SGP Indonesia dan National Geographic Indonesia untuk meningkatkan kesadaran publik tentang nilai-nilai kearifan lokal Nusantara terkait etika ekologi serta pentingnya pelestarian lingkungan.
"Kami percaya bahwa cerita-cerita inspiratif dari komunitas lokal dapat menggerakkan perubahan besar. National Geographic bangga menjadi bagian dari inisiatif ini," ucap Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia.
Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia, Agung Wibowo, juga menegaskan pentingnya kolaborasi kita semua untuk mengangkat nilai-nilai kearifan lokal yang ada di seluruh Indonesia. Mulai dari Sabang sampai Merauku.
"Kearifan lokal itu cenderung inferior dan dia perlu komunikasi. Satu kata kuncinya adalah kolaborasi." tegas Agung. Dia mengajak semua pihak untuk turut berpartisipasi dan berkolaborasi untuk memajukan para pemangku kearifan lokal.
Agung berharap, "Kalau kolaborasi ini seperti efek bola salju, sama teman-teman lain, sama akademisi, bahkan ini jadi solidaritas global, karena para pemangku kearifan lokal ada di Amazoni, ada di Kongo, tentu ini menjadi sebuah gerakan melestarikan tradisi itu."
Sains: Jamur Ini 'Makan' Radiasi Nuklir di Chernobyl, Mungkinkah Pulihkan Zona Mati Itu?
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR