Nationalgeographic.grid.id—Bermacam ancaman menghantam wilayah Karimunjawa. Tongkang batubara menabrak terumbu karangnya. Limbah tambak udang vaname mencemari area pesisir dan lautnya. Proyek pembangunan kompleks penginapan eksklusif membabat hutan mangrove kepulauannya.
Karimunjawa adalah sebuah kepulauan indah di Laut Jawa yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Terdiri atas 27 pulau, luas daratan kepulauan ini adalah sekitar 1.500 hektare, sedangkan luas perairannya sekitar 110.000 hektare.
Sayangnya, dalam beberapa tahun ke belakang, berbagai ancaman telah menggempur Karimunjawa. Hal ini tentu mempengaruhi kehidupan masyarakatnya.
Bambang Zakaria, Koordinator Lingkar Juang Karimunjawa yang juga penduduk Karimunjawa, mengatakan kini telah terjadi pergeseran budaya yang sangat cepat di Karimunjawa. Pergeseran budaya ini terjadi seiring dengan aktivitas ekonomi yang merusak ekologi Karimunjawa.
Tambak-tambak udang ilegal adalah salah satunya. Limbah tambak-tambak tersebut mencemari lautan sehingga mengancam biota laut yang hidup di dalamnya. Ikan-ikan berenang makin jauh dari pesisir sehingga masyarakat Karimunjawa yang mayoritas adalah nelayan jadi semakin sulit dalam mencari ikan.
Demi bisa memanen udang vaname yang hasilnya mereka ekspor ke luar negeri--bukan untuk mereka makan atau nikmati sendiri--sebagian orang di Karimunjawa tega mencemari lautan mereka dengan limbah tambak. Padahal kearifan lokal masyarakat Karimunjawa sejatinya mengajarkan manusia untuk memuliakan alam, terutama laut.
"Kami diajarkan oleh leluhur kami bahwa laut adalah ibu sejati," ucap Jack, sapaan Zakaria. "Laut selalu memberikan apa yang kita butuhkan. Kita harus menghormati dan berterima kasih kepada laut."
Dalam acara diskusi publik bertajuk "Ketahanan Ekologi, Budaya, dan Pangan untuk Masa Depan Karimunjawa" di Universitas Indonesia pada Rabu, 23 Oktober 2024, Jack mengenang banyak ajaran leluhurnya yang berasal dari Suku Bugis. Selain Bugis, lima suku besar lainnya yang dominan hidup di Karimunjawa adalah Jawa, Madura, Mandar, Buton, dan Bajo.
Secara umum, kearifan lokal dari keenam suku tersebut sejatinya sangat menghormati alam dan mengajarkan untuk menjaga kelestarian alam, termasuk laut. "Kita nurut apa kata alam. Ketika musim angin barat, kita bercocok tanam di darat. Ketika musim timur, kita mencari ikan ke laut," tutur Jack.
Pola hidup seperti ini juga yang membuat leluhur Karimunjawa mampu bertahan hidup selama ratusan tahun, yakni dengan memanfaatkan makanan-makanan yang memang alam sediakan secara natural. Tidak mereka buat-buat. Tidak memaksa membawa dan membudidayakan udang vaname yang dianggap berharga mahal, yang sebenarnya adalah spesies biota laut asing--bukan asli perairan Nusantara, melainkan dari perairan Amerika Latin.
Baca Juga: Hari Pangan Sedunia: Kebijakan Agraria Indonesia Runyam, Krisis Iklim Kian Mengancam
Jack juga menuturkan bahwa dahulu masyarakat Karimunjawa tidak ketergantungan dengan beras yang dipasok dari luar pulau. Mereka biasa memanfaatkan singkong dan jagung untuk sumber karbohidrat mereka. Kini, seiring perkembangan zaman, banyak warga lebih terbiasa memakan nasi yang berasnya berasal dari luar pulau.
Di seluruh wilayah Indonesia, kebutuhan beras sebagai sumber karbohidrat sudah mencapai sekitar 75 persen. Masa dahulu, pada 1954, angka ini masih di 53,5 persen. Banyak penduduk di berbagai wilayah Indonesia kini terbiasa memakan beras dan mulai meninggalkan sumber karbohidrat asli daerah mereka seperti sagu, sorgum, singkong, jagung, dan lainnya.
Ketahanan dan Kearifan Lokal Pesisir Karimunjawa
Ketahanan masyarakat nelayan Karimunjawa dalam mengarungi zaman tak lepas dari kearifan lokal mereka. Keluarga Jack, misalnya, mempunyai pantangan untuk menangkap apalagi memakan ikan barakuda, pari manta, dan lumba-lumba. Keluarga-keluarga yang lain punya pantangan untuk menangkap jenis-jenis ikan lainnya.
Mereka juga punya pantangan mencari ikan di hari Jumat. Tidak mengeksploitasi ikan secara berlebihan menjadi kebijakan komunal mereka dan turut berkontribusi dalam pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
Aktivis lingkungan Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, mengungkapkan catatan sejarah yang menunjukkan daya tahan masyarakat Karimunjawa terhadap berbagai perubahan zaman. Dia juga mencatat kreativitas penduduk Karimunjawa di zaman lampu.
Daniel mengutip catatan lama seorang peneliti. "Peneliti itu mewawancarai orang Karimun. Lalu orang Karimun itu mengatakan, 'Angin perubahan tidak bisa ditahan, tapi bagai batang padi, kita bisa sangat bengkok, tetapi tidak patah'," tutur Daniel.
Dia juga mengutip catatan sejarah di abad ke-19, persisnya pada zaman Pangeran Dipanagara. Saat itu masyarakat Karimunjawa kekurangan pangan akibat tersendatnya kiriman uang dari Jakarta (Batavia) untuk membeli makanan.
"Masyarakat Karimunjawa di abad 19 itu ditempa untuk bisa survive dengan mencoba-coba. Mencoba budi daya ini, budi daya itu. Mereka coba budi daya kopi, sampai akhirnya berhasil membudidayakan kopra," kata Daniel.
Potensi dan Kekuatan Karimunjawa
Untuk menyongsong masa depan yang lebih baik, masyarakat Karimunjawa tampaknya harus diberikan kesempatan menentukan kagiatan perekonomian mereka sendiri dengan menggali potensi yang ada di daerah mereka berdasarkan pelajaran dari kearifan lokal dan riwayat sejarah mereka. Dandhy Dwi Laksono, jurnalis senior sekaligus pendiri Watchdoc Documentary, menyebutkan beberapa contoh kekuatan asli Karimunjawa.
Salah satu contohnya adalah hilirisasi produksi cumi yang bersifat lokal. "Komoditas utama Karimunjawa itu adalah cumi-cumi," ucap Dhandy. "Enggak cukup kayaknya cumi-cumi ini dikirim ke Jepara, masuk ke storage, kemudian diekspor lewat Surabaya. Tapi mungkin makin dihilirisasi di Karimunjawa.'
Potensi lainnya kacang mete. Menurut catatan sejarah dan kondisi saat ini, pohon jambu monyet yang menghasilkan kacang tersebut bisa tumbuh subur di daratan Karimunjawa. Dhandy menyebut kacang mete juga bisa dihilirisasi secara lokal di Karimunjawa dengan mengikuti batas daya dukung lingkungannya. Dia berharap kacang mete ini nantinya bisa dibeli oleh para produsen besar cokelat yang mengandung kacang tersebut.
Kegiatan perekonomian lainnya yang juga bisa digerakkan di Karimunjawa adalah pariwisata berkelanjutan. Hal ini yang juga sedang dibangun Daniel dengan memasukkan unsur budaya, ekologi, dan alam dalam jasa pemanduan wisata yang ia buat bersama rekan-rekannya di kepulauan itu. "Jadi pengunjung bisa belajar juga dari kearifan lokal orang-orang Karimunjawa," ujar Daniel yang menamai tajuk perjalanannya sebagai Jokka Jokka Kemujan Karimunjawa.
Ritual budaya Barikan Kubro kini juga telah digiatkan dan digaungkan kembali di Karimunjawa. Selain menjadi ritual bulanan masyarakat setempat, kini ada juga Festival Barikan Kubro yang menjadi salah satu daya tarik wisata di sana.
Tari Minagara hingga silat Baruga kini juga semakin digiatkan di Karimunjawa dan mulai diajarkan ke anak-anak sekolah. Selain memperkuat identitas lokai, tari dan silat tradisional itu kini juga menjadi seni pertunjukkan yang turut memeriahkan ritual Barikan Kubro.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, juga menambahkan bahwa kekuatan masyarakat pesisir seperti Karimunjawa memang ada pada kearifan lokalnya. Sebagai contoh, masyarakat adat di pesisir timur Indonesia sangat kuat dalam menerapkan sasi.
Sasi adalah semacam aturan adat agar suatu wilayah perairan tertentu hanya bisa diambil hasil lautnya pada waktu-waktu tertentu. Hal ini turut membantu dalam konservasi perikanan dan biota laut lainnya di wilayah perairan mereka.
"Ini adalah semacam sistem buka-tutup untuk mengatur pemanfaatan ruang yang sebetulnya tidak butuh modal-modal besar," kata Susan.
Susan menegaskan, "Indonesia ini sebenarnya sudah punya segalanya. Kita mau ngomongin ikan, terumbu karang, mangrove, kita ada. Kita punya segala sumber daya yang luar biasa. Kita juga punya kearifan lokal dari masing-masing daerah."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR