Pekerja luar ruangan yang sering terpapar panas, misalnya, dapat bertahan dengan diet kaya garam. Selain itu, mereka yang memiliki gaya hidup aktif secara fisik juga dapat menoleransi asupan ga'ram yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena olahraga menurunkan tekanan darah.
Para peneliti yang kritis terhadap rekomendasi garam saat ini mengatakan bahwa korelasi antara asupan garam dan morbiditas kardiovaskular adalah kurva berbentuk J. Terlalu sedikit dan terlalu banyak garam menimbulkan bahaya kesehatan, meskipun beberapa ilmuwan membantah hal ini.
“Fokus pada garam dan tekanan darah mengabaikan nuansa ini dan mengabaikan pentingnya garam bagi tubuh yang hanya terlihat ketika asupan garam terlalu rendah,” kata Messerli.
Sensitivitas garam, yaitu seberapa banyak tekanan darah seseorang melonjak sebagai respons terhadap dosis garam, juga berbeda pada tiap orang. Orang Afrika-Amerika, misalnya, memiliki prevalensi hipertensi hampir dua kali lipat dibandingkan dengan orang kulit putih. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor genetik dan sosial ekonomi.
“Garam diduga sebagai elektrolit kuat yang menyebabkan kerusakan. Tapi sejauh mana dan keadaan pasti kapan dan di mana, kita masih belum tahu,” jelas Messerli.
Melakukan uji coba terkontrol, prosedur untuk menguji obat baru, akan menjadi cara terbaik untuk meredakan kontroversi garam.
Namun, penelitian semacam itu—yang melibatkan kelompok peserta besar dan berlangsung selama beberapa tahun—dengan cepat menemui tantangan praktis. Diet rendah natrium sulit untuk diterapkan. Banyak orang di Amerika Serikat sudah berjuang untuk mempertahankan asupan garam yang dikurangi setelah 6 bulan.
Pada tahun 2019, sekelompok peneliti menyarankan bahwa tempat terbaik untuk eksperimen semacam itu adalah penjara. Di penjara, makan diatur seketat kegiatan sehari-hari narapidana. Namun, penelitian semacam itu menimbulkan dilema etika.
Bahkan tanpa penelitian manusia yang ketat, penelitian baru mengungkapkan bagaimana asupan garam memengaruhi lebih dari sekadar tekanan darah.
Ilmuwan mengamati bahwa garam memengaruhi metabolisme sel dan dapat membangkitkan sel imun untuk menangkal patogen dalam tubuh. Hal ini diungkap oleh penelitian oleh ilmuwan kardiovaskular Pusat Max Delbrück Dominik Müller.
Timnya juga menemukan bahwa tubuh secara alami dapat mengumpulkan garam di sekitar luka kulit sebagai mekanisme pertahanan. Namun, asupan garam yang tinggi juga dapat memicu peradangan, yang berujung pada kerusakan kardiovaskular dan penyakit autoimun.
“Definisi sensitivitas garam lebih berpusat pada tekanan darah,” kata Müller. “Mungkin kita harus mempertimbangkan definisi sensitivitas garam yang lebih luas. Tidak hanya kaitannya dengan tekanan darah, tetapi juga dengan fungsi seluler.”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR