Nationalgeographic.co.id—Garam ada di mana-mana dan sangat diperlukan dalam masakan. Meski penting, garam juga bisa menjadi sumber penyakit serius jika dikonsumsi berlebihan.
Namun, apa yang dianggap sebagai kelebihan adalah perdebatan sengit di antara beberapa ilmuwan. Yang jelas, mengonsumsi terlalu banyak garam secara teratur dapat menyebabkan hipertensi atau darah tinggi.
Bagi orang dewasa yang sehat, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan untuk tidak mengonsumsi lebih dari dua gram natrium sehari. Batas ini didasarkan pada klaim bahwa mengonsumsi jumlah tersebut atau kurang tidak akan meningkatkan tekanan darah.
Namun, sangat mudah untuk melampaui batas ini. Misalnya, cheeseburger dengan bumbu-bumbu biasa, sekaleng sup, atau dua potong pizza akan menghabiskan jatah garam harian Anda.
Rata-rata asupan natrium harian di seluruh dunia adalah 4,3 gram. Terutama di negara-negara Asia Timur dan Tengah. Wilayah tersebut terkenal dengan kulinernya yang lezat.
Terkait tekanan darah, tidak ada ilmuwan yang membantah dampak buruk dari asupan garam yang berlebihan. Namun, kontroversinya terletak pada ambang batas—berapa banyak garam yang dianggap terlalu banyak?
Apa yang dilakukan garam terhadap tubuh Anda?
Garam dapur terdiri dari dua ion yang bermuatan berlawanan, natrium dan klorida. “Aktor” yang paling dibenci dari keduanya adalah natrium.
Ion natrium memberi isyarat kepada tubuh untuk melepaskan atau menahan air sehingga kadar natrium tetap stabil. “Namun, kelebihan natrium yang kronis bisa membahayakan tubuh,” tulis Shi En Kim di laman National Geographic.
Selama lonjakan natrium, tubuh melawannya dengan menahan air, yang mengakibatkan peningkatan volume darah. Jantung bekerja sangat keras untuk memompa darah dalam jumlah banyak.
Saat aliran darah padat, pembuluh darah menjadi kaku, meningkatkan tekanan pada dindingnya. Ginjal juga harus bekerja keras untuk menyaring garam berlebih dari aliran darah yang kemudian dikeluarkan melalui urine.
Baca Juga: Produksi Garam Dunia yang Berlebih Ancam Kelestarian Alam Sekitar Kita
Semua ini membebani jantung dan ginjal. Seperti ban usang yang kehilangan daya cengkeramnya, seiring waktu, penanggap tekanan darah pertama ini melemah. Konsumsi garam berlebihan dalam jangka panjang dapat menyebabkan gagal ginjal, penyakit jantung, dan stroke.
Di bagian tubuh lain, gaya hidup yang bergantung pada garam dapat meningkatkan kemungkinan tukak lambung dan kanker. Selain itu, beberapa penelitian mengeklaim bahwa garam menarik kalsium dari tulang dan dapat menyebabkan osteoporosis. Namun efeknya belum diamati secara unilateral di berbagai kelompok orang.
Pro dan kontra konsumsi garam
Makanan asin bisa sangat sulit dibatasi karena tubuh kita terprogram untuk menginginkannya. Garam sangat penting untuk kesehatan. Asupan garam yang tidak mencukupi dapat menyebabkan kram otot. Selain itu, juga menyebabkan kondisi yang lebih serius seperti resistensi insulin dan aterosklerosis.
Aterosklerosis adalah suatu kondisi penyempitan arteri yang merupakan prekursor stroke. Asupan garam yang terlalu sedikit pun dapat berakibat fatal. Namun saat ini jarang terjadi orang mengalami kekurangan garam.
“Hanya 2 persen orang di Amerika Serikat yang berisiko mengonsumsi garam dalam jumlah yang sedikit,” tambah Shi En Kim.
Meskipun risikonya terbatas, beberapa peneliti tidak menyukai gerakan rendah garam demi kesehatan yang lebih baik. Mereka menyatakan bahwa peringatan garam terlalu ketat.
Pada tahun 2013, sebuah penilaian yang diterbitkan oleh Institute of Medicine membuka kembali penyelidikan terhadap batas 2,3 gram. Alasannya adalah kurangnya bukti untuk persyaratan yang sangat sederhana tersebut. Penolakan mereka memperparah apa yang dikenal di komunitas medis sebagai “perang garam”.
Setelah laporan tersebut, AHA (The American Heart Association) menyatakan bahwa buktinya tidak lengkap dan tidak setuju dengan temuan tersebut.
Berpegang teguh pada pedoman perawatan kesehatan yang ada merupakan tantangan dalam praktik, kata Franz Messerli, seorang profesor kedokteran di Universitas Bern di Swiss.
Menurutnya, tidak ada negara di dunia yang mampu bertahan di bawah batas natrium yang dikampanyekan oleh berbagai organisasi kesehatan besar. Messerli merupakan bagian dari kelompok yang menganggap “perang” terhadap garam sebagai sesuatu yang berlebihan.
Sebagian dari argumennya adalah bahwa hubungan garam dengan tekanan darah dapat dikaburkan oleh faktor-faktor lain. Misalnya riwayat medis seseorang, tingkat stres, pekerjaan, dan kebiasaan sehari-hari.
Pekerja luar ruangan yang sering terpapar panas, misalnya, dapat bertahan dengan diet kaya garam. Selain itu, mereka yang memiliki gaya hidup aktif secara fisik juga dapat menoleransi asupan ga'ram yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena olahraga menurunkan tekanan darah.
Para peneliti yang kritis terhadap rekomendasi garam saat ini mengatakan bahwa korelasi antara asupan garam dan morbiditas kardiovaskular adalah kurva berbentuk J. Terlalu sedikit dan terlalu banyak garam menimbulkan bahaya kesehatan, meskipun beberapa ilmuwan membantah hal ini.
“Fokus pada garam dan tekanan darah mengabaikan nuansa ini dan mengabaikan pentingnya garam bagi tubuh yang hanya terlihat ketika asupan garam terlalu rendah,” kata Messerli.
Sensitivitas garam, yaitu seberapa banyak tekanan darah seseorang melonjak sebagai respons terhadap dosis garam, juga berbeda pada tiap orang. Orang Afrika-Amerika, misalnya, memiliki prevalensi hipertensi hampir dua kali lipat dibandingkan dengan orang kulit putih. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor genetik dan sosial ekonomi.
“Garam diduga sebagai elektrolit kuat yang menyebabkan kerusakan. Tapi sejauh mana dan keadaan pasti kapan dan di mana, kita masih belum tahu,” jelas Messerli.
Melakukan uji coba terkontrol, prosedur untuk menguji obat baru, akan menjadi cara terbaik untuk meredakan kontroversi garam.
Namun, penelitian semacam itu—yang melibatkan kelompok peserta besar dan berlangsung selama beberapa tahun—dengan cepat menemui tantangan praktis. Diet rendah natrium sulit untuk diterapkan. Banyak orang di Amerika Serikat sudah berjuang untuk mempertahankan asupan garam yang dikurangi setelah 6 bulan.
Pada tahun 2019, sekelompok peneliti menyarankan bahwa tempat terbaik untuk eksperimen semacam itu adalah penjara. Di penjara, makan diatur seketat kegiatan sehari-hari narapidana. Namun, penelitian semacam itu menimbulkan dilema etika.
Bahkan tanpa penelitian manusia yang ketat, penelitian baru mengungkapkan bagaimana asupan garam memengaruhi lebih dari sekadar tekanan darah.
Ilmuwan mengamati bahwa garam memengaruhi metabolisme sel dan dapat membangkitkan sel imun untuk menangkal patogen dalam tubuh. Hal ini diungkap oleh penelitian oleh ilmuwan kardiovaskular Pusat Max Delbrück Dominik Müller.
Timnya juga menemukan bahwa tubuh secara alami dapat mengumpulkan garam di sekitar luka kulit sebagai mekanisme pertahanan. Namun, asupan garam yang tinggi juga dapat memicu peradangan, yang berujung pada kerusakan kardiovaskular dan penyakit autoimun.
“Definisi sensitivitas garam lebih berpusat pada tekanan darah,” kata Müller. “Mungkin kita harus mempertimbangkan definisi sensitivitas garam yang lebih luas. Tidak hanya kaitannya dengan tekanan darah, tetapi juga dengan fungsi seluler.”
Cara mengurangi asupan garam
Hanya sebagian kecil natrium harian kita berasal dari garam tambahan selama memasak sehari-hari. Sisanya—lebih dari 70 persen—berasal dari makanan olahan. Garam berfungsi sebagai pengawet, mengubah struktur makanan, serta mempertahankan kelembapan dalam daging.
Garam juga bertindak sebagai penstabil dalam makanan olahan. Bahkan makanan pokok yang tidak terasa asin, seperti roti, dapat menjadi sumber utama natrium dalam makanan.
Mengingat banyaknya garam dalam bahan makanan, ada kemungkinan besar orang akan mendapat manfaat dari mengurangi asupan garam, meskipun sedikit.
Ditambah lagi, dengan gaya hidup yang bergantung pada mobil dan relatif tidak banyak bergerak, banyak orang berisiko lebih besar mengonsumsi natrium secara berlebihan. Hal ini diungkap oleh Raeeda Gheewala, seorang nefrologi dan pendiri klinik Sports Nephrology.
“Terkait batas natrium yang direkomendasikan sebesar 2,3 gram, saya rasa tidak terlalu ketat,” kata Gheewala.
Makan di rumah adalah cara termudah untuk mengendalikan seberapa banyak garam yang masuk ke dalam makanan kita. “Untuk itu, berbelanja bahan makanan adalah bagian terpenting dari proses ini,” Gheewala menambahkan.
Gheewala menyarankan pasiennya untuk merencanakan semua makanan mereka untuk seminggu sebelumnya guna memastikan rumah mereka bebas dari camilan asin.
“Biasanya camilan di sela waktu makan yang membuat orang-orang berlebihan,” kata Gheewala. Alih-alih camilan asin, Gheewala merekomendasikan alternatif alami seperti buah-buahan, sayur-sayuran, dan kacang-kacangan tanpa garam.
Pengganti garam adalah cara lain bagi orang untuk mengurangi asupan natrium tanpa mengorbankan terlalu banyak rasa. Pada dasarnya, pengganti garam adalah garam dapur dengan ion natrium yang digantikan oleh kalium.
Kalium klorida juga asin, meskipun kabarnya memiliki rasa pahit. Seperti natrium, terlalu banyak kalium dapat merusak kesehatan kita.
Satu studi bertajuk "Effect of Salt Substitution on Cardiovascular Events and Death" dilakukan di Tiongkok. Studi itu menemukan bahwa mengganti seperempat asupan natrium harian dengan kalium menyebabkan penurunan 12 persen pada stroke, 13 persen pada serangan jantung.
Alternatif semacam itu mengatasi tantangan rasa hambar. Terlebih lagi, kalium juga melawan efek natrium dengan merelaksasi pembuluh darah dan membantu mengeluarkan natrium dari tubuh.
Meskipun ada banyak manfaat kesehatan dari membatasi garam, sesekali menyerah pada keripik, sepotong salami, atau kerupuk, bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Dan hal itu selalu dapat diimbangi dengan mengenakan sepasang sepatu kets dan berolahraga.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR