“Selain itu, gerak periodik Bulan juga telah lama digunakan untuk penentuan waktu tahunan, terutama dalam kaitannya dengan pergantian bulan pada kalender lunar, seperti kalender Hijriah,” tuturnya.
Sains di balik gerak periodik Bulan
Berdasarkan penampakannya, gerak periodik Bulan dalam sains dapat diklasifikasikan menjadi gerak periodik sideral dan sinodik.
Gerak sideral Bulan adalah gerak revolusi Bulan mengelilingi Bumi yang diukur berdasarkan posisi relatifnya terhadap objek tetap langit, seperti bintang, galaksi, atau kuasar.
“Satu periode sideral diukur ketika Bulan kembali pada posisi semula setelah mengelilingi Bumi dan lamanya sekitar 27,32 hari. Sementara pada periode sinodik yang dijadikan patokan satu gerak revolusi adalah melalui penampakan fase-fase Bulan dengan lama 29,53 hari,” paparnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, orbit Bulan berbentuk elips yang mengelilingi Bumi dengan kemiringan sekitar 5,1 derajat terhadap bidang orbit Bumi saat mengelilingi Matahari. Kemiringan inilah yang kemudian menyebabkan adanya fase-fase Bulan, mulai dari Bulan baru, sabit muda, purnama, hingga sabit tua.
“Perbedaan antara lama periode sideral dan sinodik terletak pada fakta bahwa selain mengorbit Bumi, Bulan juga mengikuti gerak orbit Bumi mengelilingi Matahari,” ucapnya.
Kapan terjadinya fase Bulan baru?
Saat fase Bulan baru, Bulan berada segaris dengan Matahari dan Bumi (konjungsi). Ketika Bulan mulai bergeser sedikit dari posisi ini, pengamat di Bumi dapat melihat sedikit cahaya Matahari yang terpantul dari sebagian kecil permukaan Bulan. Pantulan ini kemudian menghilang kembali seiring perubahan posisi pengamat.
“Pantulan tipis cahaya Matahari pada fase bulan baru inilah yang lazim dikenal sebagai hilal yang menjadi penentu awal bulan kalender lunar/Hijriah,” katanya.
Kenapa Ramadan bisa terjadi dua kali setahun?
Terdapat perbedaan 10,88 hari antara tahun matahari (kalender Masehi) dan tahun lunar (kalender Hijriah). Tahun Masehi berlangsung selama 365,24 hari. Sementara panjang tahun lunar dalam kalender Hijriah adalah 354,36 hari.
“Karena perbedaan panjang hari tersebut, maka terdapat peluang tanggal satu bulan Hijriah tertentu dapat terjadi dua kali dalam satu tahun matahari, termasuk bulan Ramadan. Berdasarkan perhitungan, pada tahun 2030 mendatang, akan ada dua tanggal satu Ramadan,” ungkapnya.
Lepas dari fenomena Bulan baru tersebut, penetapannya dalam kalender Hijriah dapat ditempuh melalui dua cara: perhitungan analitik-matematis yang bersifat prediktif (hisab) dan observasi yang bersifat faktual (rukyat).
Prof Husin menegaskan, “Perlu direnungkan bahwa keduanya pada hakikatnya merupakan fondasi utama sains modern saat ini, yakni prediksi dan observasi."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR