Studi tersebut juga mengamati gempa bumi yang lebih kecil dengan kekuatan minimal 6,0 yang terjadi 800 km dari letusan gunung berapi. Tim tersebut mengidentifikasi 30 gunung berapi yang mungkin pernah mengalami letusan yang berpotensi dipicu.
Dalam skala hari, tim tersebut tidak menemukan bukti pemicu yang tidak dapat dijelaskan secara kebetulan saja. Hasil itu sebenarnya bertentangan dengan salah satu temuan tinjauan tahun 2006 yang menampilkan Michael Manga, salah satu penulis makalah baru tersebut.
“Senang melihat para peneliti tidak takut membuat kesimpulan yang bertentangan dengan pekerjaan mereka sebelumnya,” kata Oliver Lamb, seorang ahli vulkanologi di University of North Carolina di Chapel Hill. “Beginilah seharusnya sains bekerja.”
Penelitian Sawi menemukan bahwa ada peningkatan 5 hingga 12 persen dalam jumlah letusan eksplosif 2 bulan hingga 2 tahun setelah gempa besar. Lonjakan ini mengejutkan sekaligus menarik, menurut Lamb, tetapi juga cukup kecil.
Jackie Caplan-Auerbach, profesor seismologi dan vulkanologi di Western Washington University, menurutkan, “Makalah itu sebenarnya menyoroti betapa tidak mungkinnya gempa dapat memicu letusan.”
Lalu, bagaimana tren jangka panjang ini dapat dijelaskan? Apa yang mungkin terjadi selama bulan-bulan tersebut adalah bahwa retakan yang disebabkan oleh gempa membuka jalur baru bagi magma kental. Magma pun mengikuti jalur, secara bertahap, ke permukaan. Guncangan, seiring waktu, juga dapat menciptakan gelembung tambahan di magma, yang meningkatkan tekanannya. Seperti mengocok sekaleng soda.
Mungkin pergerakan batu dapat meremas tubuh magma seperti tabung pasta gigi, kata Sawi. Perlahan-lahan memaksa magma keluar melalui rute keluar vulkanik. Atau gempa bumi dapat meregangkan batuan di sekitar reservoir magma gunung berapi. Hal tersebut akan mendorong gas keluar dari batuan cair dan meningkatkan tekanan di reservoir.
Membuat model gunung berapi untuk percobaan
Caplan-Auerbach menduga bahwa jika gempa bumi memicu letusan, maka gunung berapi harus siap dan siap untuk meletus. “Namun, Secara intuitif mungkin masuk akal bahwa gempa bumi besar dapat memicu aktivitas di gunung berapi yang siap meletus. Namun bukti empiris untuk hubungan ini agak sedikit,” kata Pyle.
Beberapa ilmuwan, seperti Namiki, berharap menemukan bukti tersebut. Dia dan rekan-rekannya merancang model sistem vulkanik di laboratorium untuk memeriksa bagaimana pemicuan dapat terjadi secara fisik.
Dalam sebuah penelitian tahun 2016, timnya menggunakan sirup dengan jumlah kristal yang bervariasi serta jumlah gelembung. Tujuannya adalah untuk mensimulasikan berbagai reservoir magma.
Hasilnya adalah pada frekuensi resonansi, frekuensi di mana sebuah objek dapat bergetar secara alami, gerakan maju mundur dari “magma” paling menonjol. Gelembung-gelembung bergabung, dan buih berbusa di atasnya runtuh. Pada gunung berapi sungguhan, hal ini akan memungkinkan gas panas keluar dengan mudah dari magma. Serta meningkatkan tekanan reservoir dan berpotensi mendorong gunung berapi meletus.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR