Nationalgeographic.co.id—Apakah gempa bumi bisa memicu letusan gunung berapi? Kemungkinan hubungan antara dua raksasa geologi ini telah lama membuat para ilmuwan terpesona dan terpecah belah.
Gempa bumi tektonik termasuk salah satu fenomena alam paling dahsyat di planet ini. Maka, tidak mengherankan jika gempa bumi terkadang diduga dapat memicu letusan gunung berapi.
Gunung berapi di Bumi sering kali terletak di bagian dunia yang mudah mengalami gempa. Misalnya Cincin Api (Ring of Fire), merupakan wilayah berbentuk tapal kuda yang menelusuri tepi lempeng tektonik di sekitar cekungan Pasifik. Wilayah ini menjadi tempat terjadinya 90 persen gempa bumi yang tercatat di dunia. Serta 75 persen dari semua gunung berapi yang masih aktif.
Di titik-titik panas seismik seperti itu, letusan dan gempa bumi sering kali terjadi pada waktu yang hampir bersamaan. Sering kali ada spekulasi yang tidak masuk akal di internet. Tapi Anda tidak dapat serta-merta berasumsi bahwa ada hubungan antara gempa bumi tertentu dan letusan berikutnya.
“Gunung berapi itu mungkin sudah bersiap untuk meletus atau sudah meletus sejak lama,” kata ahli vulkanologi Janine Krippner.
Namun, pertanyaan apakah gempa bumi dapat menyebabkan letusan gunung berapi merupakan topik penelitian serius. Para ahli telah menyelidiki topik tersebut selama berabad-abad.
Dan berbagai bukti dari penelitian terbaru menunjukkan bahwa hubungan tersebut berpotensi terjadi dalam situasi tertentu. Jadi, bagaimana pendapat para ilmuwan saat ini tentang masalah ini?
Menghubungkan beberapa titik yang meragukan
Atsuko Namiki, profesor geosains di Universitas Hiroshima, menyoroti beberapa penelitian geofisika dengan data yang menunjukkan adanya hubungan. Sebuah jurnal tahun 1993 bertajuk "Seismicity Remotely Triggered by the Magnitude 7.3 Landers, California, Earthquake", misalnya. Penelitian itu menghubungkan gempa berkekuatan 7,3 skala Richter di California dengan gemuruh vulkanik dan panas bumi segera setelahnya.
Penelitian lain dilakukan pada tahun 2012 bertajuk "The 1707 Mw8.7 Hoei earthquake triggered the largest historical eruption of Mt. Fuji". Penelitian itu memperkirakan bahwa gempa berkekuatan 8,7 skala Richter di Jepang tahun 1707 memaksa magma yang lebih dalam naik ke ruang dangkal. Peristiwa itu memicu ledakan besar di Gunung Fuji 49 hari kemudian.
Bahkan Survei Geologi AS yang selalu berhati-hati mengatakan bahwa terkadang, ya, gempa bumi dapat memicu letusan. Badan tersebut menyatakan bahwa beberapa contoh historis menyiratkan bahwa guncangan tanah yang parah akibat gempa bumi mampu mengubah tekanan lokal di sekitar sumber magmatik di dekatnya. Pada akhirnya, guncangan tersebut dapat memicu bencana vulkanik.
Baca Juga: Mengapa Gempa Myanmar Begitu Merusak? Ilmuwan Ungkap Alasannya
Badan tersebut mengutip gempa bumi berkekuatan 7,2 skala Richter di gunung berapi Kilauea di Hawaii pada tanggal 29 November 1975. Gempa itu segera diikuti oleh letusan singkat.
Namun ada masalah. Pertama, mekanisme pemicu untuk peristiwa tersebut tidak dipahami dengan baik. Serta jurnal yang menghubungkan gempa bumi dengan letusan berikutnya hanya dapat berspekulasi.
Kedua, mungkin saja waktu dalam semua contoh ini hanya kebetulan. Ahli geologi harus memahami pemicu spesifik. Mereka juga harus mengesampingkan peluang sebelum hubungan dapat dibuat secara definitif. Kompleksitas geologi Bumi membuat keduanya sangat sulit.
Charles Darwin yang pertama kali menghubungkan antara gempa bumi dan letusan gunung berapi
Analisis statistik mencoba mengatasi masalah peluang secara langsung. Sebuah makalah Nature tahun 1998 mengungkap hasil penelitian. Jurnal itu meneliti apakah gempa berkekuatan 8,0 atau lebih dapat memicu letusan gunung berapi hingga sejauh 800 km dari episentrum dalam waktu 5 hari.
Peneliti menggunakan data dari abad ke-16 hingga 1998. Mereka menemukan bahwa jenis letusan ini terjadi empat kali lebih sering daripada yang dapat dijelaskan oleh kebetulan saja.
Makalah lain tahun 2009 menggunakan data historis untuk melakukan penelitian yang sama. Hasilnya menunjukkan bahwa gempa berkekuatan 8,0 di Chili dikaitkan dengan tingkat letusan yang jauh lebih tinggi di gunung berapi tertentu sejauh 496 km jauhnya. Masalahnya adalah bahwa data historis semacam ini tidak terlalu bagus.
“Gempa bumi besar dan letusan gunung berapi besar merupakan peristiwa yang relatif jarang terjadi. Para ilmuwan baru dapat menyimpan catatan ini dengan andal selama setengah abad terakhir atau lebih, tergantung pada wilayahnya,” kata Theresa Sawi. Sawi adalah seorang peneliti sarjana geofisika di University of California, Berkeley.
Banyak titik data di masa lalu berasal dari laporan berita dan entri jurnal yang cukup ambigu. David Pyle, profesor vulkanologi di University of Oxford, menunjukkan bahwa salah satu penulis pertama yang menghubungkan gempa bumi dan letusan. Penulis itu adalah Charles Darwin.
Pada 1840, Darwin mengumpulkan informasi saksi mata tentang beberapa perubahan kecil di gunung berapi Chili setelah gempa kuat di sana tahun 1836. Tidak jelas apakah ada letusan yang terjadi.
Penelitian yang berfokus pada data ilmiah yang lebih kuat
Sawi adalah salah satu penulis analisis statistik terbaru dalam Bulletin of Volcanology. Ia mencoba menghindari masalah ini. Studi ini hanya berfokus pada data ilmiah yang lebih kuat dari tahun 1964 dan seterusnya.
Studi tersebut juga mengamati gempa bumi yang lebih kecil dengan kekuatan minimal 6,0 yang terjadi 800 km dari letusan gunung berapi. Tim tersebut mengidentifikasi 30 gunung berapi yang mungkin pernah mengalami letusan yang berpotensi dipicu.
Dalam skala hari, tim tersebut tidak menemukan bukti pemicu yang tidak dapat dijelaskan secara kebetulan saja. Hasil itu sebenarnya bertentangan dengan salah satu temuan tinjauan tahun 2006 yang menampilkan Michael Manga, salah satu penulis makalah baru tersebut.
“Senang melihat para peneliti tidak takut membuat kesimpulan yang bertentangan dengan pekerjaan mereka sebelumnya,” kata Oliver Lamb, seorang ahli vulkanologi di University of North Carolina di Chapel Hill. “Beginilah seharusnya sains bekerja.”
Penelitian Sawi menemukan bahwa ada peningkatan 5 hingga 12 persen dalam jumlah letusan eksplosif 2 bulan hingga 2 tahun setelah gempa besar. Lonjakan ini mengejutkan sekaligus menarik, menurut Lamb, tetapi juga cukup kecil.
Jackie Caplan-Auerbach, profesor seismologi dan vulkanologi di Western Washington University, menurutkan, “Makalah itu sebenarnya menyoroti betapa tidak mungkinnya gempa dapat memicu letusan.”
Lalu, bagaimana tren jangka panjang ini dapat dijelaskan? Apa yang mungkin terjadi selama bulan-bulan tersebut adalah bahwa retakan yang disebabkan oleh gempa membuka jalur baru bagi magma kental. Magma pun mengikuti jalur, secara bertahap, ke permukaan. Guncangan, seiring waktu, juga dapat menciptakan gelembung tambahan di magma, yang meningkatkan tekanannya. Seperti mengocok sekaleng soda.
Mungkin pergerakan batu dapat meremas tubuh magma seperti tabung pasta gigi, kata Sawi. Perlahan-lahan memaksa magma keluar melalui rute keluar vulkanik. Atau gempa bumi dapat meregangkan batuan di sekitar reservoir magma gunung berapi. Hal tersebut akan mendorong gas keluar dari batuan cair dan meningkatkan tekanan di reservoir.
Membuat model gunung berapi untuk percobaan
Caplan-Auerbach menduga bahwa jika gempa bumi memicu letusan, maka gunung berapi harus siap dan siap untuk meletus. “Namun, Secara intuitif mungkin masuk akal bahwa gempa bumi besar dapat memicu aktivitas di gunung berapi yang siap meletus. Namun bukti empiris untuk hubungan ini agak sedikit,” kata Pyle.
Beberapa ilmuwan, seperti Namiki, berharap menemukan bukti tersebut. Dia dan rekan-rekannya merancang model sistem vulkanik di laboratorium untuk memeriksa bagaimana pemicuan dapat terjadi secara fisik.
Dalam sebuah penelitian tahun 2016, timnya menggunakan sirup dengan jumlah kristal yang bervariasi serta jumlah gelembung. Tujuannya adalah untuk mensimulasikan berbagai reservoir magma.
Hasilnya adalah pada frekuensi resonansi, frekuensi di mana sebuah objek dapat bergetar secara alami, gerakan maju mundur dari “magma” paling menonjol. Gelembung-gelembung bergabung, dan buih berbusa di atasnya runtuh. Pada gunung berapi sungguhan, hal ini akan memungkinkan gas panas keluar dengan mudah dari magma. Serta meningkatkan tekanan reservoir dan berpotensi mendorong gunung berapi meletus.
Pada tahun 2018, tim tersebut juga menerbitkan sebuah studi tentang model gel gunung berapi. Gunung berapi tersebut disuntik dengan cairan yang mensimulasikan berbagai jenis magma. Mereka menemukan bahwa menggoyangkan model tersebut menyebabkan cairan bergerak lebih cepat daripada yang seharusnya. Namun, ke mana cairan itu pergi terkait dengan daya apung dan kedalaman penyimpanannya.
Cairan yang kurang apung bergerak ke samping atau ke bawah, yang pada gunung berapi sungguhan akan membuat letusan menjadi kurang mungkin. Namun, cairan bergelembung pada kedalaman dangkal naik, sesuatu yang dapat menyebabkan letusan.
Mengamati puing-puing hasil letusan gunung berapi
Hal ini tentu saja tidak mudah. Namiki mencatat bahwa skeptisisme tentang letusan yang dipicu oleh gempa bumi adalah hal yang wajar. Namun, Eleonora Rivalta menyatakan bahwa suasana mungkin perlahan bergeser ke arah kemungkinan adanya hubungan. Rivalta adalah ketua kelompok penelitian fisika gempa bumi dan vulkanik di GFZ Potsdam.
“Komunitas ilmiah yang lebih luas mungkin masih agak skeptis. Tapi banyak ahli geofisika gunung berapi kini yakin gunung berapi memang dapat bereaksi terhadap gempa bumi dengan berbagai respons,” katanya.
Namun, Rivalta menekankan bahwa bukti kuatnya masih belum ada. Khususnya demonstrasi yang jelas tentang bagaimana tepatnya letusan dipicu pada gunung berapi tertentu oleh gempa bumi tertentu.
Ada cara lain untuk mengeksplorasi statistik dan simulasi laboratorium di luar sana. Pyle berpendapat bahwa jika gunung berapi tertentu dianggap dipicu oleh gempa bumi, maka puing-puing vulkanik yang dilontarkan dapat menyimpan petunjuk tentang keadaan reservoir magma sebelum letusannya.
Puing-puing dapat mengungkapkan apakah gempa bumi benar-benar membuat perbedaan yang signifikan. Atau mungkin menunjukkan bahwa gunung berapi itu memang siap meletus dan gempa bumi hanya mempercepat hitungan mundur.
Bagi Sawi, jalan ke depan jelas. “Peningkatan pemantauan gunung berapi di seluruh dunia akan membantu menyediakan data yang dibutuhkan untuk mulai mengenali pola. Serta menemukan pemicu yang dapat menunjukkan kemungkinan letusan yang lebih tinggi.”
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR