Namun, mereka juga mewanti-wanti apabila bahaya kian mendekat, ada panduan darurat untuk tetap selamat. Pun, tidak disarankan untuk mengungsi ke atap rumah karena lahar mampu menerjang pondasi rumah.
"Jangan sekali-kali naik ke atap atau bubungan rumah, sebab yang sudah-sudah jarang yang selamat. Kalau kamu akan berangkat mengungsi, padahal air sudah dekat atau sudah datang, jangan sekali-kali langkahmu kau lanjutkan. Segera memanjatlah pada apa pun yang ada di dekatmu, sebab hanya itu yang barangkali dapat menyelamatkan umurmu," tulis Yudakusuma.
Pada kenyataannya, bagaimana warga Blitar menyelamatkan diri ketika bencana lahar Gunungapi Kelut mencapai permukiman mereka? Yudakusuma mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan merespons mitigasi saat bencana bagi orang asli Blitar dan pendatang.
"Orang-orang tua yang asli Blitar tidak begitu kebingungan dalam memilih tempat mengungsi," tulisnya. "Ada yang kemudian berlari menuju sebelah selatan sungai Brantas, ada yang kemudian pergi ke tempat-tempat yang tinggi, yang belum pernah dilalui lahar ..."
Namun, orang-orang yang belum lama tinggal di Blitar, mereka umumnya kebingungan. Yudakusuma menulis, "Ada yang kemudian masuk ke dalam kamar kemudian dikunci rapat, ada yang masuk ke dalam almari atau peti, dan ada yang hanya berlarian tidak karuan arah sambil berkeluh-kesah. Ada lagi yang terpaku, tidak dapat bergerak."
Jangan menggantungkan hayat pada situs keramat
Dia menambahkan, bagi orang-orang Blitar yang percaya kepada hal-hal keramat, biasanya mereka mengungsi ke permakaman atau kuburan. Pada peristiwa-peristiwa silam, umumnya mereka selamat. Namun pada letusan Kelut pada 1919, tidak sedikit mereka yang mengungsi ke permakaman justru turut hanyut dan menjumpai takdirnya. "Maka dari itu, jika kelak ada lahar lagi jangan begitu percaya [pada kekeramatan] makam atau kuburan," pesannya
Setelah kehancuran, bagaimana kehidupan perlahan mulai bangkit? Kita juga mendapatkan pelajaran mitigasi pascabencana dalam urian Panjeblugipun Redi Kelut. Betapa pentingnya penanganan trauma psikologis setelah bencana, pencarian korban yang hilang, kewaspadaan untuk keamanan kota, perbaikan prasarana umum, dan dukungan masyarakat dari kota lain untuk meringankan beban korban.
Trauma pascabencana
Pengalaman menyaksikan derasnya aliran air yang telah menghancurkan segala sesuatu di jalurnya meninggalkan kesan yang sangat mendalam dan menakutkan bagi warga. Dayawiyata mengisahkan seorang nyonya Cina yang panik ketika menyaksikan meluapnya air selokan yang mencapai ke kampung Pecinan.
Baca Juga: Menjawab secara Ilmiah: Mengapa Ada Gunung Berapi dan Tidak Berapi?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR