Namun mengapa begitu banyak kondisi yang berbeda menyebabkan gejala yang sama? Penyebabnya mungkin karena brain fog dapat menunjukkan defisit di banyak area kognisi. “Termasuk perhatian, konsentrasi, atau kemampuan untuk melaksanakan tugas,” kata Avindra Nath, direktur klinis intramural dari National Institute of Neurological Disorders and Stroke. “Jika otak tidak berfungsi dengan baik, orang-orang menyebutnya brain fog.”
Namun para ahli membedakan antara brain fog dan gangguan kognitif. Gangguan kognitif mengakibatkan defisit dalam memori atau perhatian yang dapat diukur.
Pasien dengan brain fog sering melaporkan masalah dengan perhatian dan memori. Namun dokter tidak selalu dapat menemukan defisit yang dapat diukur di area ini.
Terkadang, pasien dengan brain fog menjalani serangkaian tes, hanya untuk semuanya kembali normal. “Hal tersebut bisa sangat membuat pasien frustrasi,” kata Becker.
Brain fog mungkin terlihat sama di berbagai kondisi yang terkait dengannya. “Namun ilmuwan mulai setuju bahwa brain fog kemungkinan memiliki banyak penyebab potensial yang berbeda,” ungkap Peter Denno, peneliti klinis di Imperial College London. Dan penyebab-penyebab tersebut memengaruhi bagaimana—dan apakah—brain fog dapat diobati.
Hubungan antara peradangan dan brain fog
Baru-baru ini, para ilmuwan mulai memahami hubungan antara peradangan dan brain fogi. Pemahaman tersebut membuka jalan bagi diagnosis dan pengobatan.
“Salah satu hipotesis terbesar tentang apa yang mendasari brain fog dalam semua kondisi yang berbeda ini adalah neuroinflamasi,” kata Becker.
Bukti yang semakin banyak menunjukkan bahwa COVID-19 memicu respons imun yang terlalu aktif yang dapat terus menyerang pasien. Bahkan setelah mereka pulih dari gejala penyakit yang paling akut.
Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa infeksi COVID dapat menyebabkan aktivasi jangka panjang sel-sel imun otak. Serta mengganggu pertumbuhan neuron pada pasien dengan kabut otak.
Beberapa pasien juga mulai memproduksi autoantibodi. Autoantibodi tersebut memberi sinyal kepada sistem imun untuk menyerang jaringan sehat, termasuk sel-sel di otak.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa peradangan yang disebabkan oleh COVID dapat menyebabkan pengurangan jangka panjang pada ukuran materi abu-abu dan putih otak. Hal tersebut menyebabkan defisit kognitif.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR