Nationalgeographic.co.id—Delapan perwakilan eks pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mengadukan dugaan eksploitasi anak dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kepada Kementerian HAM. Mereka menyambangi kantor Kementerian HAM di Jakarta Selatan pada Selasa, 15 April 2025, dan diterima oleh Wakil Menteri HAM Mugiyanto beserta dua orang direktur jenderal.
Para korban yang hadir di sana, sebagian besar perempuan paruh baya, menceritakan kronologi mereka dipekerjakan sejak masih anak-anak sebagai pemain sirkus di OCI.
Mereka mengaku mengalami berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari dipukul, disetrum, dipaksa bekerja dalam kondisi sakit, dipisahkan dari anaknya setelah melahirkan, hingga dipaksa makan kotoran hewan.
Tindak kekerasan, perbudakan, dan eksploitasi anak yang mereka ceritakan diduga terjadi sejak tahun 1970-an oleh para pemilik OCI dan Taman Safari Indonesia.
Dalam kronologi tertulis dari pendamping korban, dikatakan bahwa para pemilik dan/atau pengelola OCI serta Taman Safari Indonesia mengambil dan memisahkan lebih dari 60 anak-anak berusia 2 – 4 tahun dari orang tua mereka. Kemudian di usia 4 – 6 tahun, mereka diduga dipekerjakan tanpa upah, tidak disekolahkan, dan tidak diberi tahu identitas aslinya.
Sebelumnya, para korban sempat membawa kasus ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pada 1997, Komnas HAM menyatakan OCI telah melakukan sejumlah pelanggaran HAM terhadap anak-anak pemain sirkus.
Pelanggaran yang dimaksud adalah terhadap hak anak untuk mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan kekeluargaan; hak anak untuk bebas dari eksploitasi yang bersifat ekonomis; hak anak untuk memperoleh pendidikan umum yang layak; serta hak anak untuk mendapatkan pelindungan keamanan dan jaminan sosial yang layak.
Kasus eksploitasi sirkus manusia itu ramai kembali setelah para korban menungkapkan pengalaman mereka lagi kepada publik.
Menilik ke masa lampau, sejarah sirkus manusia memang identik dengan perbudakan. Tidak hanya terhadap manusia, tetapi juga terhadap hewan.
Dilansir National Geographic, sirkus manusia modern atau seperti yang dikenal saat ini dapat ditelusuri hingga abad ke-18, tepatnya tahun 1768. "Kala itu seorang penunggang kuda Philip Astley menemukan bahwa ketika kudanya berlari dalam sebuah lingkaran, gaya sentrifugal dan sentripetal memungkinkannya untuk menjaga keseimbangan di punggungnya," tulis Gulnaz Khan untuk laman National Geographic.
"Philip Astley kemudian membangun sebuah arena, menyewa seorang badut, dan sirkus modern pun lahir," tambahnya.
Baca Juga: Kebun Binatang Manusia Jadi Potret Kelam Rasisme dalam Sejarah Dunia
Sejarah mencatat, sirkus sering kali tidak hanya melibatkan kuda, tetapi hewan-hewan eksotis lain hasil penjarahan dan penjajahan. Dan manusia yang bekerja di sirkus tersebut sering kali merupakan budak hasil penjajahan atau kolonialisme.
Sebagai contoh pada 1882, impresario sirkus P. T. Barnum di Amerika Serikat meminta contoh "semua ras tidak beradab yang ada." Menanggapi permintaan tersebut, pemain sandiwara R. A. Cunningham mengirim dua kelompok Aborigin Australia ke Amerika Serikat.
Orang-orang Aborigin itu ditampilkan sebagai "kanibal" di sirkus, museum, tempat pameran, dan tempat pertunjukan lainnya di Amerika dan Eropa serta diperiksa dan difoto oleh para antropolog.
Pertunjukan menampilkan orang-orang Aborigin seperti itu dikenal juga sebagai kebun binatang manusia. Pertunjukan kebun binatang manusia ini saling terkait dengan sirkus manusia yang bisa ditelusuri asalnya dari era penjelajahan dan kolonial oleh bangsa Eropa yang menganut imperialisme.
Selama Zaman Penjelajahan antara abad ke-15 hingga abad ke-17, penjelajah Spanyol dan Portugis sering kali membawa pulang tanaman, hewan, dan bahkan orang asing. Hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa pelayaran mereka berhasil.
Namun, pameran hasil-hasil penjelajahan dan pelayaran hanya dapat diakses oleh kalangan elite. Pasalnya, tanaman hingga orang asing itu hanya dipamerkan di istana kerajaan.
Selama abad ke-17 dan ke-18, memiliki pelayan yang bukan keturunan Eropa merupakan tanda kekayaan bangsawan Eropa. Sekali lagi, hanya kalangan elite yang berhubungan dengan orang asing yang 'eksotis' ini.
Kondisi itu berubah pada awal abad ke-19. Antara tahun 1810 dan 1815, seorang wanita Afrika Selatan bernama Saartjie Baartman (Venus Hottentot) dipamerkan di London dan Paris. Ia menjadi bagian dari 'pertunjukan aneh'.
Pameran tersebut adalah contoh modern pertama di mana seorang individu asing dipamerkan untuk hiburan masyarakat Eropa. Pameran ini menjadi cikal bakal kebun binatang manusia, yang disebut 'pameran etnologis'.
Selama paruh pertama abad ke-19, orang-orang asing seperti Baartman dipamerkan di berbagai pameran dan karnaval. Semua pameran dan karnaval tersebut juga menampilkan berbagai ‘pertunjukan aneh’ lainnya.
Selama periode ini, penekanan diberikan pada perbedaan antara orang asing dan masyarakat Eropa. Perbedaan antara ‘normal’ dan ‘abnormal’ digantikan oleh perbedaan antara ‘beradab’ dan ‘biadab’ selama paruh kedua abad tersebut.
Semua ini merupakan imbas dari Imperialisme Baru atau Neo-imperialisme. Neo-imperialisme, adalah gelombang penjajahan dan imperialisme yang terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Kekuatan-kekuatan Eropa mulai membangun koloni di seluruh dunia, terutama di Afrika. Saat itu, ada keinginan yang tumbuh untuk memamerkan orang-orang yang ditaklukkan. Konon orang-orang taklukan ini dianggap kurang beradab daripada mereka sendiri.
Pemerintah Eropa lebih dari siap untuk memuaskan permintaan ini. Bahkan desa-desa asli ditampilkan di sebagian besar pameran yang diadakan selama periode tersebut.
Pameran orang asing yang ‘biadab’ di kebun binatang manusia tidak terbatas di Eropa saja. Di Amerika Serikat, misalnya, Pameran Dunia St. Louis yang diadakan pada tahun 1904 memamerkan sejumlah 'pameran hidup'. Termasuk lebih dari 1.000 orang Filipina dari belasan suku yang ditempatkan di desa-desa yang direka ulang.
Di Jepang, sebuah pameran orang Korea, yang digambarkan sebagai kanibal, diselenggarakan pada tahun 1903. Pameran itu diadakan tujuh tahun sebelum penjajahan Jepang di Korea.
Kebun binatang manusia mulai kehilangan popularitasnya seiring berjalannya abad ke-20. Salah satu contoh terakhir dari fenomena ini terjadi pada tahun 1958, di Pameran Dunia di Brussels. Di pameran tersebut Desa Kongo ditampilkan.
Menjelang akhir keberadaannya, kebun binatang manusia dikritik sebagai sesuatu yang merendahkan martabat, rasis, dan tidak etis. Pameran kebun binatang manusia berakhir karena dianggap mengusik rasa kemanusiaan, tetapi kegiatan sirkus manusia tetap jalan.
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR