“Lalu jawab Raja Ahasyweros kepada Ester sang ratu dan kepada Mordekhai, orang Yahudi itu: ‘Karena Haman menyerang orang Yahudi, maka aku telah memberikan rumahnya kepada Ester dan ia sendiri telah ditusuk pada tiang yang didirikannya.’” (Ester 8:7)
Praktik penusukan ini juga digunakan oleh bangsa Fenisia (Canaan dan Lebanon), dan disebarkan ke koloni-koloni dagang mereka di sekitar Laut Tengah.
Penyebaran ini menjadi awal dari evolusi metode hukuman publik yang kemudian berkembang menjadi bentuk penyaliban seperti yang dikenal dalam Kekaisaran Romawi.
Masa Helenistik dan Romawi
Penaklukan oleh Alexander Agung (336–323 SM) membawa perubahan besar di kawasan Mediterania Timur. Budaya, pemerintahan, bahasa, agama, dan filsafat Yunani menyebar luas, termasuk di kalangan Yahudi.
Meskipun sebagian literatur Yunani menentang hukuman penusukan (impalement), sejarawan Herodotus mencatat bahwa pada tahun 479 SM, seorang jenderal Persia dihukum dengan "dipaku ke papan dan digantung" yang menjadi bentuk awal dari yang kini dikenal sebagai penyaliban.
Bahkan Alexander sendiri dilaporkan menyalibkan 2.000 tawanan saat mengepung kota Tirus di wilayah Fenisia.
Dalam teks-teks kuno, muncul kebingungan bahasa terkait metode hukuman ini. Bahasa Yunani kuno memiliki istilah anastaurō (ditancapkan ke tiang kayu) dan apotympanizō (dipaku di papan).
Dalam bahasa Latin, istilah crux digunakan untuk menggambarkan alat dari kayu tempat para penjahat dihukum, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai crucifixion atau penyaliban.
Namun, istilah ini tidak selalu membedakan apakah metode yang digunakan adalah penusukan atau penyaliban berbentuk salib seperti yang berkembang kemudian.
Contohnya, dalam Ulangan 21:22–23 disebutkan:
"Jika seseorang dihukum mati karena suatu kejahatan dan tubuhnya digantung pada tiang, jangan biarkan tubuh itu tergantung semalaman. Kuburkanlah pada hari itu juga, sebab orang yang digantung adalah kutukan Allah."
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR