Kitab Yunani (Septuaginta) menerjemahkan frasa ini menggunakan istilah yang kemudian diartikan sebagai penyaliban. Penulis Perjanjian Baru, seperti Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, menafsirkan ayat ini sebagai nubuat tentang kematian Yesus.
Sejarawan Yahudi Flavius Yosefus juga mencatat praktik penyaliban massal dalam Antiquities. Salah satunya adalah kisah raja Yahudi Alexander Jannaeus (103–76 SM) yang memihak kaum Saduki dalam perselisihan ritual di Bait Suci, memicu konflik dengan kelompok Farisi.
Dalam suasana perayaan Sukkot, atas saran penasihatnya Diogenes, Jannaeus menyalibkan 800 orang Farisi dalam satu hari. Lebih tragis lagi, istri dan anak-anak mereka dihukum mati di depan mata para korban, sementara sang raja menyaksikan dari meja jamuan dengan para bangsawan.
Proses Penyaliban
Dalam literatur Romawi dan catatan dari berbagai provinsi, penyaliban adalah prosedur yang mapan. Biasanya dilakukan oleh tim militer khusus yang dipimpin seorang senturion.
Di wilayah jajahan, pasukan yang terlibat sering berasal dari penduduk lokal yang menjadi bagian dari tentara Romawi. Para korban disiksa lebih dulu dengan cambuk, dilucuti pakaiannya, lalu diarak dalam keadaan telanjang keliling kota sebagai bentuk penghinaan publik.
Meski seni Kristen menggambarkan Yesus dengan kain penutup, kenyataannya telanjang adalah bagian dari hukuman memalukan itu.
Tiang salib umumnya bersifat permanen. Korban tidak membawa seluruh salib, hanya bagian palangnya. Palang dan tiang bersama-sama bisa mencapai berat 135–180 kilogram. Karena korban sering kali nyaris tewas akibat penyiksaan sebelumnya, kadang mereka tak mampu membawa palang hingga ke lokasi.
Bukti arkeologis dan literatur menunjukkan bahwa paku yang digunakan berukuran 13–18 sentimeter, dan korban bisa dipaku dengan berbagai posisi—bahkan digantung terbalik.
Sejarawan Flavius Yosefus mencatat bahwa pada pengepungan Yerusalem tahun 70 M, tentara Romawi menyalibkan tahanan dalam berbagai pose demi hiburan. Ada juga yang mengumpulkan paku penyaliban sebagai jimat.
Meskipun seni Kristen kerap menggambarkan paku di telapak tangan, secara medis itu mustahil. Eksperimen modern menunjukkan bahwa paku di telapak tak mampu menahan berat tubuh.
Paku sebenarnya dipasang di pergelangan tangan, di antara tulang hasta dan pengumpil. Kematian biasanya terjadi karena kombinasi dari trauma fisik, kehilangan darah, dan sesak napas.
Dalam beberapa kasus ekstrem, Seneca melaporkan bahwa korban juga bisa dipaku melalui bagian genital. Para korban penyaliban biasanya dibiarkan menderita selama beberapa hari hingga akhirnya mati.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Simak ragam ulasan jurnalistik tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan pengetahuan yang mendalam!
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR