Nationalgeographic.co.id—Penyaliban merupakan salah satu bentuk hukuman mati yang paling dikenal dalam sejarah duni kuno. Namun asal usul dan proses pelaksanaannya jauh lebih kompleks daripada yang dibayangkan.
Berawal dari praktik di zaman kuno, penyaliban digunakan oleh berbagai peradaban seperti Mesir Kuno, Asyur, Babilonia, dan Romawi, tidak hanya sebagai hukuman bagi pelanggar hukum, tetapi juga sebagai sarana untuk menegakkan kekuasaan dan menimbulkan rasa takut di kalangan rakyat.
Melalui berbagai metode dan variasi yang kejam, penyaliban menyisakan jejak yang mendalam dalam sejarah dunia kuno sebagai simbol dominasi dan kekuasaan.
Asal Usul Penyaliban
Asal mula dan perkembangan praktik penyaliban masih sulit ditelusuri secara pasti. Bentuk paling awal dari hukuman ini ditemukan sebagai hukuman bagi tawanan perang.
Seiring waktu, praktik ini diperluas penggunaannya untuk pelanggaran tertentu, terutama pengkhianatan terhadap raja atau kekuasaan yang sedang berkuasa.
Di Mesir Kuno, digunakan metode hukuman yang dikenal sebagai impalement atau penusukan tubuh dengan tongkat tajam. Dalam praktik ini, tubuh seseorang ditusuk dari bagian bawah hingga menembus organ vital, menyebabkan kematian yang cepat dan menyakitkan.
Hieroglif Mesir bahkan menggambarkan hukuman ini dengan frasa “diberikan kepada kayu.” Praktik ini tercatat selama masa pemerintahan Sobekhotep II, Akhenaten, Seti, dan Ramses IX. Merneptah (1213–1203 SM) disebut-sebut “menancapkan orang-orang pada tongkat” di selatan Memphis.
Di wilayah Mesopotamia kuno—yang kemudian berkembang menjadi kekaisaran Asyur, Babilonia, dan Persia—dikenal metode hukuman serupa.
Ketika Raja Asyur Sennacherib menaklukkan kota Israel, Lakhis, pada tahun 701 SM, relief dinding yang dibuatnya menggambarkan tawanan digantung di tiang, dengan tiang menusuk tubuh melalui tulang rusuk. Hukuman kejam ini dimaksudkan untuk menunjukkan kekejaman dan rasa takut kepada siapa pun yang memberontak.
Pada masa Kekaisaran Persia, kisah dalam Kitab Ester menggambarkan bagaimana Ratu Ester menyelamatkan bangsanya dari rencana pembantaian yang dirancang oleh Haman. Ironisnya, Haman sendiri akhirnya dihukum dengan metode yang ia siapkan untuk orang Yahudi:
Baca Juga: Kisah 'Penangkapan Ikan Ajaib' Yesus Mungkin Bisa Dijelaskan Secara Ilmiah
“Lalu jawab Raja Ahasyweros kepada Ester sang ratu dan kepada Mordekhai, orang Yahudi itu: ‘Karena Haman menyerang orang Yahudi, maka aku telah memberikan rumahnya kepada Ester dan ia sendiri telah ditusuk pada tiang yang didirikannya.’” (Ester 8:7)
Praktik penusukan ini juga digunakan oleh bangsa Fenisia (Canaan dan Lebanon), dan disebarkan ke koloni-koloni dagang mereka di sekitar Laut Tengah.
Penyebaran ini menjadi awal dari evolusi metode hukuman publik yang kemudian berkembang menjadi bentuk penyaliban seperti yang dikenal dalam Kekaisaran Romawi.
Masa Helenistik dan Romawi
Penaklukan oleh Alexander Agung (336–323 SM) membawa perubahan besar di kawasan Mediterania Timur. Budaya, pemerintahan, bahasa, agama, dan filsafat Yunani menyebar luas, termasuk di kalangan Yahudi.
Meskipun sebagian literatur Yunani menentang hukuman penusukan (impalement), sejarawan Herodotus mencatat bahwa pada tahun 479 SM, seorang jenderal Persia dihukum dengan "dipaku ke papan dan digantung" yang menjadi bentuk awal dari yang kini dikenal sebagai penyaliban.
Bahkan Alexander sendiri dilaporkan menyalibkan 2.000 tawanan saat mengepung kota Tirus di wilayah Fenisia.
Dalam teks-teks kuno, muncul kebingungan bahasa terkait metode hukuman ini. Bahasa Yunani kuno memiliki istilah anastaurō (ditancapkan ke tiang kayu) dan apotympanizō (dipaku di papan).
Dalam bahasa Latin, istilah crux digunakan untuk menggambarkan alat dari kayu tempat para penjahat dihukum, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai crucifixion atau penyaliban.
Namun, istilah ini tidak selalu membedakan apakah metode yang digunakan adalah penusukan atau penyaliban berbentuk salib seperti yang berkembang kemudian.
Contohnya, dalam Ulangan 21:22–23 disebutkan:
"Jika seseorang dihukum mati karena suatu kejahatan dan tubuhnya digantung pada tiang, jangan biarkan tubuh itu tergantung semalaman. Kuburkanlah pada hari itu juga, sebab orang yang digantung adalah kutukan Allah."
Kitab Yunani (Septuaginta) menerjemahkan frasa ini menggunakan istilah yang kemudian diartikan sebagai penyaliban. Penulis Perjanjian Baru, seperti Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, menafsirkan ayat ini sebagai nubuat tentang kematian Yesus.
Sejarawan Yahudi Flavius Yosefus juga mencatat praktik penyaliban massal dalam Antiquities. Salah satunya adalah kisah raja Yahudi Alexander Jannaeus (103–76 SM) yang memihak kaum Saduki dalam perselisihan ritual di Bait Suci, memicu konflik dengan kelompok Farisi.
Dalam suasana perayaan Sukkot, atas saran penasihatnya Diogenes, Jannaeus menyalibkan 800 orang Farisi dalam satu hari. Lebih tragis lagi, istri dan anak-anak mereka dihukum mati di depan mata para korban, sementara sang raja menyaksikan dari meja jamuan dengan para bangsawan.
Proses Penyaliban
Dalam literatur Romawi dan catatan dari berbagai provinsi, penyaliban adalah prosedur yang mapan. Biasanya dilakukan oleh tim militer khusus yang dipimpin seorang senturion.
Di wilayah jajahan, pasukan yang terlibat sering berasal dari penduduk lokal yang menjadi bagian dari tentara Romawi. Para korban disiksa lebih dulu dengan cambuk, dilucuti pakaiannya, lalu diarak dalam keadaan telanjang keliling kota sebagai bentuk penghinaan publik.
Meski seni Kristen menggambarkan Yesus dengan kain penutup, kenyataannya telanjang adalah bagian dari hukuman memalukan itu.
Tiang salib umumnya bersifat permanen. Korban tidak membawa seluruh salib, hanya bagian palangnya. Palang dan tiang bersama-sama bisa mencapai berat 135–180 kilogram. Karena korban sering kali nyaris tewas akibat penyiksaan sebelumnya, kadang mereka tak mampu membawa palang hingga ke lokasi.
Bukti arkeologis dan literatur menunjukkan bahwa paku yang digunakan berukuran 13–18 sentimeter, dan korban bisa dipaku dengan berbagai posisi—bahkan digantung terbalik.
Sejarawan Flavius Yosefus mencatat bahwa pada pengepungan Yerusalem tahun 70 M, tentara Romawi menyalibkan tahanan dalam berbagai pose demi hiburan. Ada juga yang mengumpulkan paku penyaliban sebagai jimat.
Meskipun seni Kristen kerap menggambarkan paku di telapak tangan, secara medis itu mustahil. Eksperimen modern menunjukkan bahwa paku di telapak tak mampu menahan berat tubuh.
Paku sebenarnya dipasang di pergelangan tangan, di antara tulang hasta dan pengumpil. Kematian biasanya terjadi karena kombinasi dari trauma fisik, kehilangan darah, dan sesak napas.
Dalam beberapa kasus ekstrem, Seneca melaporkan bahwa korban juga bisa dipaku melalui bagian genital. Para korban penyaliban biasanya dibiarkan menderita selama beberapa hari hingga akhirnya mati.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Simak ragam ulasan jurnalistik tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan pengetahuan yang mendalam!
Source | : | World History Encyclopedia |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR