Penyebab utama kehilangan air ini adalah peningkatan suhu, baik di atmosfer maupun lautan. Kenaikan suhu rata-rata Bumi selama beberapa dekade terakhir telah mengubah pola curah hujan dan mempercepat proses penguapan dan transpirasi — proses di mana uap air dilepaskan ke atmosfer oleh tanaman.
Lebih banyak uap air dari penguapan dan transpirasi memang dapat menghasilkan hujan deras dalam waktu singkat, tetapi air tersebut cenderung tidak meresap ke dalam tanah; sebagian besar justru menjadi limpasan permukaan yang mengalir ke laut.
Dan seiring meningkatnya suhu Bumi, “wilayah yang mengering akibat suhu tinggi dan perubahan curah hujan, kini meluas lebih cepat daripada wilayah yang menjadi lebih basah karena peningkatan curah hujan,” kata ilmuwan lingkungan Katharine Jacobs dari University of Arizona di Tucson, seperti dikutip dari laman Science News.
Sementara itu, Jacobs menambahkan bahwa permintaan terhadap air tanah terus meningkat. Ia mengungkapkan bahwa sebagian besar orang yang bekerja di bidang sumber daya air kemungkinan belum menyadari adanya hubungan antara penyedotan air tanah dan kenaikan permukaan laut.
Kalaupun ada yang mengetahuinya, mereka kemungkinan besar belum memahami bahwa perubahan tersebut bisa diukur, bahkan berpengaruh terhadap kemiringan sumbu Bumi. Karena itulah, menurut Jacobs, penggunaan berbagai set data menjadi sangat krusial. Tanpa adanya data tersebut, banyak peneliti bisa saja melewatkan keterkaitan penting ini.
Secara keseluruhan, para peneliti menyimpulkan bahwa jumlah total air di tanah Bumi telah mengalami penurunan sejak awal abad ini. Dan mengingat proyeksi suhu Bumi ke depan, air tersebut tampaknya tidak akan segera tergantikan.
Ini merupakan temuan yang mengkhawatirkan, kata Benjamin Cook, pemodel iklim dari NASA Goddard Institute for Space Studies di New York City. “Segala sesuatu membutuhkan air. Kalau tidak cukup air, kita dalam masalah.”
Di tengah tren perubahan iklim yang terus berlangsung, menjaga keseimbangan sumber daya air menjadi tantangan mendesak yang membutuhkan perhatian lintas disiplin dan kolaborasi global. Masa depan keberlanjutan Bumi mungkin ditentukan oleh seberapa cepat dan tepat kita bertindak untuk menjaga air tetap tinggal di tanah, bukan sekadar mengalir ke laut.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Science News,Science.org |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR