Nationalgeographic.co.id—Salah satu kebohongan terbesar soal penemuan fosil dinosaurus berasal dari Tiongkok. Saat itu majalah National Geographic menjadi korbannya.
Sejatinya, Christopher Sloan, editor senior National Geographic, sudah pernah melihat satu atau dua fosil dinosaurus berbulu. Namun, spesimen yang ia beritakan dalam majalah National Geographic edisi November 1999 membuatnya tercengang. Fosil itu mereka namai sebagai Archaeoraptor liaoningensis.
"Lengannya yang panjang dan tubuhnya yang kecil merepresentasikan 'burung!' Ekornya yang panjang dan kaku - yang jika diperbesar akan membentuk serangkaian batang penyangga kecil yang sejajar dengan tulang belakang - merepresentasikan 'Dinosaurus!'," tulis Sloan.
Makhluk yang ditemukan di Provinsi Liaoning, Tiongkok, ini "adalah mata rantai yang hilang dalam rantai kompleks yang menghubungkan dinosaurus dengan burung," tulis Sloan dalam majalah National Geographic kala itu dan dibaca oleh publik dunia.
Namun, ironisnya, Archaeoraptor kemudian dijuluki "ayam Piltdown". Seperti manusia Piltdown yang terkenal di Inggris, fosil itu ternyata adalah fosil potong-tempel yang terbuat dari spesies-spesies yang berbeda.
Sebagai informasi, manusia Piltdown adalah fosil tipuan yang dibuat dari tempelan atau gabungan fosil manusia dan kera. Manusia Piltdown ternyata terdiri atas tengkorak manusia zaman pertengahan, rahang bagian bawahnya berasal dari seekor orang utan dari Kalimantan di Indonesia dan fosil giginya dari simpanse. Umurnya pun disamarkan dengan menodai tulang-tulangnya dengan larutan besi dan asam kromat.
Penipuan ini diyakini dilakukan oleh Charles Dawson dan/atau orang-orang lainnya terhadap para ahli paleontologi dari November 1912 hingga terbongkar pada tahun 1953.
Adapun kasus fosil "ayam Piltdown" ini merupakan tempelan atau gabungan fosil dinosaurus dan burung. Cosmos Magazine, "Bagi National Geographic, benteng penerbitan ilmiah, tertipu oleh kebohongan tersebut menunjukkan betapa canggihnya pemalsuan itu."
Cosmos melanjutkan, "Masalah fosil palsu di Tiongkok serius dan terus berkembang. Alih-alih digali oleh para ahli paleontologi di penggalian fosil, sebagian besar fosil di wilayah tersebut ditarik dari tanah oleh para petani yang sangat miskin dan kemudian dijual ke pedagang dan museum."
Laman National Geographic juga mengakui penipuan yang dialami mereka ini dengan menulis, "Pada tahun 1999, majalah National Geographic memberitakan penemuan fosil dinosaurus mirip burung yang disebut Archaeoraptor, yang akhirnya ternyata merupakan dua fosil yang tidak berhubungan yang direkatkan sengaja untuk menipu."
Baca Juga: Mengapa Beberapa Dinosaurus Berumur Pendek Meski Berukuran Besar?
IFL Science juga mencatat kejadian penipuan fosil tersebut. Saat dipublikasikan oleh National Geographic, fosil itu tampak seperti gabungan antara burung dan theropoda, atau dinosaurus berkaki dua.
Selain mempublikasikan artikel tulisan Sloan, National Geographic juga menyertakan foto lempengan fosil tersebut. Dalam keterangan foto, sebuah nama dicantumkan untuk pertama kalinya: Archaeoraptor liaoningensis.
Namun, sayang, semuanya palsu. Setelah protes publik oleh anggota komunitas ilmiah, National Geographic melakukan investigasi yang mengungkap bahwa fosil Archaeoraptor pada dasarnya adalah dua fosil terpisah yang direkatkan.
Pada tahun 2001, ahli paleontologi Timothy Rowe menerbitkan hasil penelitian di jurnal Nature yang selanjutnya dikonfirmasi melalui computed tomography (CT) bahwa "sayangnya, bagian dari setidaknya dua spesimen baru yang signifikan itu digabungkan demi nilai komersial yang lebih tinggi dari pemalsuan tersebut."
Sebenarnya, nama Archaeoraptor yang baru saja dijuluki itu tampak sah secara ilmiah, "namun itu merujuk pada sesuatu yang palsu," kata Rowe kepada IFLScience.
"Pemalsuan yang disengaja itu," sebagaimana yang kemudian ditemukan, diselundupkan keluar dari Tiongkok dan masuk ke AS, di mana ia dijual di pasar komersial seharga 80.000 dolar AS pada saat itu.
Demam Fosil di Tiongkok dan Penipuan yang Menyertainya
Liaoning, yang disebut-sebut sebagai asal fosil tersebut, merupakan provinsi miskin dan sangat terindustrialisasi di timur laut Tiongkok. Wilayah ini telah menjadi pusat aktivitas paleontologi sejak awal 1990-an.
Ketika Sinosauropteryx – dinosaurus berbulu pertama yang diketahui – ditemukan di sana pada tahun 1996, hal itu memicu demam emas perburuan fosil yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Liaoning pada era Cretaceous kaya akan danau dan rawa, yang – dikombinasikan dengan banyaknya letusan gunung berapi – menjadi lingkungan yang ideal untuk mengawetkan sejumlah besar fosil, sering kali dengan sangat rinci.
Namun, itu bukan satu-satunya alasan Liaoning menghasilkan lebih banyak fosil daripada bagian lain dunia saat ini – Tiongkok juga dapat menginvestasikan tenaga kerja yang sangat besar untuk memulihkan fosil.
Baca Juga: Menulusuri Secara Ilmiah, Mengapa Dinosaurus Dinamai ‘Dinosaurus’?
“Beberapa daerah ini tidak diragukan lagi sangat kaya akan fosil, tetapi … keberhasilannya jelas terkait dengan tenaga kerja yang hampir tak terbatas yang tersedia di Tiongkok,” kata Luis Chiappe, direktur Dinosaur Institute di Natural History Museum of Los Angeles County.
Chiappe menggambarkan pekerjaan yang dilakukan di sana sebagai “sejajar dengan pembangunan Tembok Besar Tiongkok dalam bidang paleontologi”.
Ribuan petani telah menjadi “penggali tulang” yang menemukan fosil dan menjualnya kepada pedagang. Meskipun ilegal, upaya mereka terus-menerus mmembuahkan penemuan spesies-spesies baru.
Fosil berkualitas tinggi dapat dijual seharga puluhan ribu dolar atau setara ratusan juta rupiah. Jadi jika penghasilan bulanan Anda hanya beberapa dolar atau kurang, menemukan satu fosil sama saja dengan memenangkan jackpot.
“Beberapa museum Tiongkok memiliki ekspedisi mereka sendiri dan pergi untuk mengumpulkan … tetapi sebagian besar dari apa yang dikumpulkan di Tiongkok telah sepenuhnya digali oleh para petani,” jelas Chiappe.
Mengetahui lapisan geologi batuan mana yang menyimpan fosil ini – atau stratigrafi – adalah kunci untuk menentukan usia fosil. Spesimen yang digali oleh petani dan dijual kepada pedagang tidak dapat diklasifikasikan dengan cara ini.
Chiappe mengatakan sebuah penelitian yang sedang dilakukannya terhadap fosil burung purba Confuciusornis, salah satu fosil paling melimpah yang ditemukan di Liaoning, merupakan contoh masalah tersebut. Timnya telah mempelajari 180 spesimen dan tidak punya pilihan selain membandingkannya seolah-olah ke-180 spesimen itu hidup pada waktu yang sama.
“Kami memperlakukan mereka sebagai populasi modern, tetapi mereka bukanlah populasi modern”, katanya. “Mereka telah hidup ribuan, ratusan ribu, bahkan terkadang jutaan tahun terpisah.”
Jika para ilmuwan memiliki data tentang usia fosil yang tepat, mereka mungkin dapat melihat apakah spesies tersebut telah berubah seiring waktu, dan dengan data yang lebih baik tentang lokasi geografis, mereka dapat melihat perubahan antarwilayah. “[Tetapi] kami tidak tahu itu, karena kami tidak tahu persis dari mana fosil itu berasal,” kata Chiappe.
Namun, masalah lain yang jauh lebih serius adalah spesimen palsu dan yang dimanipulasi. Contoh yang paling terkenal adalah Archaeoraptor, yang dinamai oleh National Geographic.
Kisah kebohongan itu menarik perhatian publik terhadap skala masalah tersebut, dan juga terhadap kesulitan mengidentifikasi fosil palsu.
Para petani Tiongkok yang menggali fosil sangat menyadari bahwa spesimen yang lengkap dan spektakuler jauh lebih berharga daripada fragmennya. Beberapa bahkan tidak menyadari bahwa mereka memalsukan spesimen dan menggabungkan potongan-potongan fosil yang berbeda yang ditemukan di lokasi yang sama.
Dalam kasus yang paling ekstrem, manipulasi ini disengaja, melibatkan fosil yang ditemukan di lokasi yang berbeda. Kedengarannya kasar, tetapi bahkan para ahli harus memeriksa dengan saksama untuk mendeteksi tipu daya saat pemalsu ulung sedang bekerja.
Fosil dapat dipalsukan dengan berbagai cara. Terkadang, fosil dipahat dari bagian-bagian spesies yang sama tetapi berasal dari individu yang berbeda. Jadi Anda mungkin memiliki tengkorak, ekor, dan tubuh Microraptor yang semuanya berasal dari individu yang berbeda.
Metode lain melibatkan penggabungan bagian-bagian spesies yang berbeda untuk membuat fosil lengkap yang tampak seperti hewan baru. "Dinosaurus sangat mirip dengan burung, jadi terkadang fosil ini menggabungkan burung yang berbeda, spesimen dromaeosaurus yang berbeda, atau bahkan burung dengan dinosaurus," kata Xu Xing, seorang profesor dari Beijing’s Institute of Vertebrate Palaeontology and Palaeoanthropology
Namun, pemalsuan yang paling ekstrem mengambil fosil yang terpisah-pisah dan memahat bagian yang hilang dari batu.
Dalam kasus yang jarang terjadi, fosil sepenuhnya dibuat dari awal. Ahli paleontologi Phil Currie di University of Alberta di Kanada melihat satu contoh di Tiongkok saat melakukan perjalanan penelitian bersama Xu.
"Ia mendapat telepon bahwa spesimen yang sangat bagus telah ditemukan dan tampak seperti Archaeopteryx," katana.
"Jadi, kami terbang ke bagian lain Tiongkok... dan ketika kami sampai di sana, hanya butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa itu sama sekali bukan fosil asli. Itu pada dasarnya adalah tulang yang digiling, direkatkan kembali dengan cara tertentu agar tampak seperti Archaeopteryx."
Ini adalah rintangan signifikan bagi sains. Dan sedihnya, ini merupakan rintangan yang tidak dapat dipecahkan dengan mudah.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR