Nationalgeographic.co.id—Mastodon merupakan kerabat gajah modern yang telah punah. Seperti gajah, mastodon juga memiliki gading, telinga yang lebar, dan belalai yang panjang.
Mastodon menjelajahi Amerika Utara sepanjang Zaman Es hingga 13.000 tahun yang lalu. Mereka hidup di hutan pinus dan daerah rawa yang ditutupi oleh pohon larch dan cemara, memakan ranting, daun dan tanaman air.
Mereka memiliki kaki yang lebar dan tulang jari kaki yang pendek dan lebar untuk beradaptasi hidup di tepi air. Bentuk kaki tersebut memungkinkan mereka berjalan di tanah yang lunak dan tergenang air di samping kolam dan danau.
Gajah, mastodon, dan mamut berbulu merupakan anggota ordo Proboscidea, nama yang berasal dari kata Yunani proboskis, yang berarti hidung.
Tidak seperti gajah modern, mastodon memiliki telinga dan dahi yang jauh lebih kecil dan ditutupi lapisan rambut cokelat yang tebal. Rambut pada tubuhnya dapat tumbuh hingga 90 cm dan gading jantan tumbuh hingga sekitar 2,5 m. Sementara mastodon betina tidak memiliki gading.
Mastodon memiliki tinggi antara 2,5 dan 3 m. Sementara beratnya mencapai 3.500 dan 5.400 kg, menurut Illinois State Museum. Itu tidak jauh berbeda dari gajah modern. Gajah modern beratnya 2.722 hingga 6.350 kg dan tingginya berkisar antara 1,5 hingga 4,3 m, menurut The Defenders of Wildlife.
Perbedaan mastodon dan mamut
Mastodon dan mamut berbulu sama-sama tampak seperti gajah purba, tetapi keduanya adalah spesies yang berbeda. Satu perbedaan besar di antara keduanya adalah kapan mereka muncul di Bumi.
Menurut Ross MacPhee, kurator di American Museum of Natural History di New York, mamut muncul sekitar 5,1 juta tahun yang lalu di Afrika. Di sisi lain, mastodon muncul sekitar 27 juta hingga 30 juta tahun yang lalu, terutama di Amerika Utara dan Tengah.
Selain itu, mastodon sedikit lebih kecil daripada mamut. Meskipun keduanya herbivora, cara makan mereka berbeda. Mastodon memiliki geraham tumpul berbentuk kerucut yang dapat menghancurkan tumbuhan, sementara mamut memiliki geraham beralur yang dapat memotong tumbuhan, seperti gajah masa kini.
Ahli alam Georges Cuvier menamai mereka "mastodon" karena gigi mereka memiliki tonjolan yang bentuknya mirip seperti payudara. Nama ini berasal dari kata Yunani "mastos" (payudara) dan "odous" (gigi).
Baca Juga: Edukasi Konservasi Gajah Sumatra, Belantara Foundation Tingkatkan Kapasitas Guru SD di OKI
Dikutip laman Natural History Museum, Profesor Adrian Lister, pakar museum tentang megafauna yang punah, mengatakan mastodon dan mamut memiliki beberapa ciri fisik yang mirip. Keduanya merupakan mamalia besar dengan belalai, gading, dan kaki kekar serta keduanya memiliki bulu yang berbulu.
Adrian menjelaskan perbedaan utamanya adalah mamut memiliki bahu yang sangat tinggi, punggung yang landai, dan gading yang bengkok, sedangkan gading mastodon lebih pendek dan melengkung lembut. Mereka juga hidup di iklim yang berbeda.
Penting untuk dicatat bahwa gajah bukanlah keturunan langsung dari mamut atau mastodon, meskipun mereka memiliki nenek moyang yang sama.
Kepunahan mastodon
Dilansir laman Live Science, mastodon punah sekitar 10.000 tahun yang lalu. Ada banyak teori tentang penyebab kepunahan tersebut. Sebagian besar teori ini bermuara pada perubahan iklim dan/atau perburuan manusia, menurut Simon Fraser University.
Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa Bumi memanas dari Zaman Es terlalu cepat bagi mastodon untuk beradaptasi atau bahwa manusia memburu mereka hingga punah.
Adrian berkata, "Kita tahu bahwa sekitar 13.000 tahun yang lalu iklim global mendingin, dan di daerah tempat mastodon tinggal, mereka akan menemukan pengurangan dalam kelimpahan pohon dan tanaman air yang mereka makan."
Ini adalah titik di mana manusia modern pertama kali menyebar ke Amerika Utara, dan ada bukti bahwa mereka memburu hewan besar ini.
Jadi, kemungkinan besar, kepunahan mastodon merupakan akibat dari perubahan iklim alami, berkurangnya pasokan makanan, dan perburuan.
Sementara yang lain, seperti peneliti Bruce Rothschild dari Northeastern Ohio Universities College of Medicine dan Richard Laub dari Buffalo Museum of Science di New York, memiliki teori yang berbeda.
Mereka menemukan bahwa 52 persen dari 113 mastodon yang mereka pelajari memiliki tanda-tanda tuberkulosis. Hal ini membuat para peneliti berpikir bahwa pandemi tuberkulosis berkontribusi terhadap kepunahan mereka.
Meskipun kematian akibat penyakit terdengar seperti jawaban yang jelas, "Kepunahan biasanya bukan peristiwa satu fenomena," kata Rothschild. Kemungkinan besar penyakit itu tidak membunuh hewan secara langsung, tetapi membuat mereka lemah. Ditambah dengan keluarnya Zaman Es dan melawan manusia, spesies itu tidak dapat bertahan hidup.
Baca Juga: Antara Gajah, Hutan, dan Kehidupan yang Perlu Diselamatkan
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Tatik Ariyani |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR