Nationalgeographic.co.id—Ketegangan kembali mendidih di antara dua kekuatan nuklir di Asia Selatan, India dan Pakistan, menyusul serangan teror mematikan di Pahalgam, Jammu dan Kashmir, bulan lalu.
Serangan yang merenggut 26 nyawa ini memicu kekhawatiran akan eskalasi militer yang tajam, diperparah dengan ancaman terbuka penggunaan senjata nuklir oleh sejumlah tokoh Pakistan.
India dan Pakistan memiliki sejarah panjang permusuhan dan konfrontasi militer. Namun, saat ini, setiap langkah militer membawa risiko yang jauh lebih tinggi.
Keduanya adalah negara bersenjata nuklir, dan di tengah meningkatnya ketegangan—terutama setelah serangan udara India yang menyusul serangan teror di Pahalgam—muncul pertanyaan mengerikan: apa yang akan terjadi jika mereka melintasi jurang nuklir?
Jejak Menuju Kemampuan Nuklir
Perjalanan kedua negara menuju status nuklir dimulai puluhan tahun lalu, ditandai dengan uji coba dan deklarasi kemampuan militer yang mengubah peta geopolitik kawasan.
India pertama kali menunjukkan kemampuan nuklirnya pada tahun 1974 melalui uji coba di Pokhran dengan nama sandi "Smiling Buddha". Ledakan "nuklir damai" ini menjadikan India negara keenam yang berhasil menguji coba senjata nuklir.
Setelah dua dekade dalam ambiguitas, India secara resmi mendeklarasikan diri sebagai negara pemilik senjata nuklir pada tahun 1998 dengan melakukan lima uji coba nuklir melalui Operasi Shakti.
Sejak itu, India telah membangun kemampuan triad nuklir, memungkinkan pengiriman hulu ledak melalui darat (rudal Agni), udara (pesawat seperti Mirage 2000 dan SU-30MKI), dan laut (melalui kapal selam kelas INS Arihant).
India, seperti dilansir laman timeslife.com, menganut doktrin "tidak menggunakan pertama kali" (no first use) dalam kebijakan nuklirnya.
Hanya berselang beberapa minggu setelah uji coba India pada tahun 1998, Pakistan memberikan respons. Pakistan melakukan enam uji coba nuklir di Bukit Chagai, Balochistan, menjadikannya kekuatan nuklir ketujuh di dunia.
Baca Juga: Penyebab Konflik India Pakistan: Mengapa Kashmir Terus Memicu Sengketa Kedua Negara?
Berbeda dengan India, Pakistan mempertahankan kebijakan penggunaan nuklir pertama kali (first use), bahkan mengembangkan senjata nuklir taktis, yaitu senjata jarak pendek yang dirancang untuk digunakan di medan perang, yang menambah lapisan kompleksitas dan risiko dalam setiap eskalasi.
Sampai tahun 2024, kedua negara terus memperkuat arsenal nuklir mereka. India diperkirakan memiliki sekitar 172 hulu ledak nuklir, sementara Pakistan memiliki jumlah yang sangat mirip, diperkirakan sekitar 170 hulu ledak nuklir.
Skenario Kiamat Lokal: Ramalan Studi Routledge
Di tengah latar belakang yang penuh gejolak ini, seperti dilansir laman indiatimes.com, sebuah makalah penelitian tahun 2019 yang diterbitkan oleh Routledge menawarkan gambaran yang menakutkan.
Studi tersebut secara spesifik memprediksi konflik nuklir antara India dan Pakistan dapat terjadi pada tahun 2025, dipicu oleh serangan teror dengan korban jiwa yang tinggi—mirip dengan peristiwa yang baru-baru ini terjadi, meskipun studi tersebut awalnya membayangkan serangan terhadap Parlemen India.
Para peneliti dalam studi tersebut berteori bahwa serangan teroris besar akan memprovokasi India untuk mengerahkan pasukannya secara besar-besaran di sepanjang Garis Kontrol (LoC).
Langkah ini, pada gilirannya, akan mendorong Pakistan untuk melakukan respons militer serupa. Seiring meningkatnya ketegangan, bentrokan di perbatasan akan tak terhindarkan, menyebabkan korban jiwa di kedua belah pihak dan memicu eskalasi yang cepat.
Seperti yang digambarkan dalam makalah tersebut, "Seperti yang terjadi pada Januari 2002, kedua belah pihak memobilisasi dan mengerahkan pasukan... Bentrokan pecah, dan ada kematian di kedua sisi."
Menurut studi tersebut, titik kritis akan tercapai ketika pasukan India mulai bergerak maju ke wilayah Pakistan. Para jenderal Pakistan, yang khawatir akan kekalahan dalam perang konvensional, akan mengambil keputusan mengerikan untuk menggunakan senjata nuklir mereka. Makalah tersebut merinci prediksi kronologis kehancuran:
* Hari ke-1: Pakistan melancarkan serangan dengan 10 senjata nuklir taktis di dalam perbatasannya sendiri. Masing-masing senjata memiliki hasil ledakan sekitar 5 kiloton, ditujukan untuk menghalau pergerakan tank-tank India.
* Hari ke-2: Pakistan meluncurkan 15 nuklir taktis lagi. Sebagai respons, India melancarkan 20 ledakan udara nuklir strategis yang menargetkan instalasi militer dan depot nuklir di Pakistan.
Baca Juga: Sejarah Konflik India-Pakistan: Dimulai dari Kegamangan Maharaja Kashmir
Ledakan udara ini akan memicu kebakaran besar dan kepulan asap raksasa, mirip dengan gambar-gambar mengerikan setelah pemboman Hiroshima atau kebakaran hebat yang mengikuti gempa San Francisco tahun 1906.
Namun, respons India alih-alih menghentikan konflik, justru memicu eskalasi yang jauh lebih mematikan pada hari ketiga.
* Hari ke-3: Pakistan membalas dengan 30 ledakan udara di atas garnisun militer India, pangkalan angkatan laut, dan lapangan udara perkotaan. Serangan ini diperparah dengan 15 serangan nuklir taktis tambahan. India merespons dengan serangan nuklir terhadap 10 situs militer Pakistan di berbagai kota.
Makalah tersebut melukiskan gambaran reaksi berantai yang mengerikan: kemarahan, kepanikan, miskomunikasi, dan protokol militer yang kaku di kedua belah pihak yang secara tak terhindarkan mengarah pada pertukaran nuklir skala penuh.
Selama tiga hari berikutnya, Pakistan diprediksi akan menggunakan seluruh persenjataan strategisnya yang berjumlah sekitar 120 senjata nuklir, menargetkan kota-kota besar di seluruh India. India akan merespons dengan melancarkan 70 ledakan udara nuklir, sambil menahan 100 senjata nuklir lainnya sebagai cadangan strategis—ironisnya, untuk mencegah campur tangan China, meskipun pencegahan India terhadap Pakistan telah gagal total.
Dampak Mengerikan: Tak Hanya Regional, Tapi Global
Studi Routledge, dengan asumsi kedua negara menggunakan total sekitar 250 senjata nuklir masing-masing (meskipun angka 2024 sedikit lebih rendah, studi menggunakan asumsi ini untuk perhitungan dampaknya), memperingatkan konsekuensi yang sangat menghancurkan.
Antara 50 hingga 125 juta orang diperkirakan akan tewas seketika, tergantung pada hasil ledakan senjata dan lokasi serangan. Kota-kota besar di India dan Pakistan, pusat kehidupan miliaran orang, akan hancur total atau menjadi tidak layak huni. Infrastruktur penting—layanan kesehatan, transportasi, energi, dan keuangan—akan runtuh sepenuhnya, melemparkan kawasan tersebut ke dalam kekacauan dan anarki.
Namun, kehancuran tidak akan terhenti di perbatasan India dan Pakistan. Dampak iklim dari asap dan badai api yang dihasilkan akan menyelimuti seluruh planet. Jelaga dan asap dari ratusan badai api akan naik ke stratosfer, menciptakan lapisan tebal yang menghalangi sinar matahari.
Hal ini dapat mendinginkan suhu global hingga 1,8°C selama lebih dari satu dekade, memicu kegagalan panen global yang meluas, kekurangan pangan parah, dan kelaparan yang dapat memengaruhi miliaran orang di seluruh dunia.
"Konsekuensinya akan sangat besar dan berskala global," simpul makalah tersebut.
Baca Juga: Sains Ungkap Alasan Gurun Raksasa Thar di India Perlahan Menghijau
Asia Selatan: Episentrum Bencana yang Lebih Buruk
Fakta bahwa Asia Selatan adalah rumah bagi lebih dari 1,7 miliar orang memperparah skenario ini. Kepadatan penduduk yang luar biasa di kota-kota, infrastruktur yang seringkali rapuh, dan lanskap politik yang selalu tegang membuat konflik nuklir di kawasan ini jauh lebih dahsyat dibandingkan di tempat lain.
Sebuah ledakan nuklir tunggal di atas kota padat seperti Delhi atau Karachi diperkirakan dapat membunuh lebih dari 1 juta orang seketika. Luka sekunder akibat luka bakar parah, puing-puing yang berhamburan, dan bangunan yang runtuh akan melumpuhkan seluruh kapasitas medis yang ada.
Sebuah simulasi yang dilakukan oleh Princeton pada tahun 2020 tentang konflik nuklir India-Pakistan memperkirakan lebih dari 100 juta kematian dapat terjadi hanya dalam hitungan hari jika kedua belah pihak menggunakan sekitar 100 senjata nuklir saja.
Kota-kota ikonik seperti Mumbai, Lahore, Islamabad, dan Bangalore berpotensi menjadi sasaran utama. Gelombang panas yang intens dari ledakan nuklir akan memicu badai api raksasa yang mampu membakar seluruh lingkungan dan mengubah pemandangan kota menjadi abu. Infrastruktur penting—jalan, bandara, rumah sakit, jaringan listrik—akan lenyap dari peta, memutuskan lifeline bagi jutaan penyintas.
Selain kehancuran fisik, efek radiasi akan menjadi ancaman jangka panjang yang mengerikan. Awan radioaktif akan terbawa angin hingga ratusan bahkan ribuan kilometer dari titik ledakan.
Sungai-sungai vital seperti Indus dan Gangga bisa terkontaminasi, meracuni sumber air bagi jutaan orang dan lahan pertanian. Lahan pertanian yang terpapar radiasi akan menjadi tidak dapat digunakan selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun. Hewan ternak akan mati, menambah krisis pangan.
Radiasi yang tersisa di daerah yang terkena dampak akan bertahan selama beberapa dekade, menyebabkan peningkatan dramatis dalam kasus kanker, mutasi genetik pada generasi mendatang, dan keruntuhan ekologis yang luas.
Konsekuensi Global: Riak Kiamat di Seluruh Dunia
Perang nuklir antara India dan Pakistan tidak akan hanya menjadi bencana regional; konsekuensinya akan bergema di seluruh dunia. Selain musim dingin nuklir yang mengancam ketahanan pangan global, dampaknya akan meluas ke berbagai sektor.
Rute perdagangan penting di Samudra Hindia akan terganggu parah, begitu pula pasokan energi dari Teluk yang melewati kawasan tersebut. Pusat-pusat keuangan utama, seperti Mumbai, akan lenyap, memicu gejolak dan keruntuhan pasar keuangan di seluruh dunia.
Krisis pengungsi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya akan membebani negara-negara tetangga seperti China, Afghanistan, dan Iran, serta negara-negara lain di seluruh dunia.
Respons internasional akan menjadi rumit dan berpotensi memicu eskalasi lebih lanjut. Dewan Keamanan PBB kemungkinan akan turun tangan, namun aliansi global dan kepentingan strategis negara-negara besar dapat menarik mereka ke dalam pusaran konflik.
Amerika Serikat, China, dan Rusia—semua kekuatan nuklir dengan kepentingan signifikan di Asia Selatan—mungkin terpaksa mengambil tindakan, baik secara diplomatik maupun militer, dengan risiko eskalasi yang mengerikan.
Upaya non-proliferasi global, seperti Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), bisa runtuh, memicu negara-negara lain untuk mempertimbangkan kembali pengembangan senjata nuklir sebagai cara untuk memastikan keamanan mereka sendiri.
Adakah Jalan Kembali dari Jurang Ini?
Meskipun permusuhan seringkali memuncak dan retorika memanas, India dan Pakistan secara mengejutkan berhasil menghindari perang skala penuh sejak konflik Kargil pada tahun 1999.
Mereka berhasil melewati momen-momen kritis, termasuk serangan terhadap Parlemen India pada tahun 2001 dan episode Pulwama-Balakot pada tahun 2019, tanpa melintasi batas perang konvensional skala penuh, apalagi nuklir.
Kedua negara memiliki saluran komunikasi darurat, jalur diplomatik rahasia, dan selalu berada di bawah tekanan global yang signifikan untuk meredakan ketegangan.
Tentu saja, risiko mengerikan itu tetap ada. Senjata nuklir, pada dasarnya, diciptakan untuk mencegah perang, bukan untuk benar-benar digunakan.
Namun, dalam dunia yang penuh ketidakpastian, di mana salah perhitungan, penilaian yang keliru, atau bahkan alarm palsu dapat dengan cepat memicu serangkaian peristiwa yang tak terkendali, bahkan pencegahan nuklir yang paling kuat pun tidak sepenuhnya menjamin keamanan.
Bayangan kiamat nuklir tetap menjadi ancaman nyata yang menggantung di atas kepala miliaran orang di Asia Selatan dan di seluruh dunia.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
KOMENTAR