Spora dari Cordyceps—kerabat dekat Ophiocordyceps—terbukti mampu memperpendek umur dan mengurangi kemampuan berkembang biak kutu putih, salah satu hama utama pada tanaman kapas.
Spora yang sama juga menghambat perkembangan larva ngengat diamondback, yang selama ini menyebabkan kerugian miliaran dolar pada tanaman sayuran seperti brokoli dan kubis.
Selain itu, Cordyceps menunjukkan potensi dalam melawan hama lain seperti lalat putih, kutu daun, ulat, tungau laba-laba, dan berbagai serangga pengganggu lainnya.
Namun, semua temuan tersebut masih berasal dari uji laboratorium. Untuk benar-benar memanfaatkan jamur zombi dan kerabatnya di dunia nyata, para ilmuwan harus memahami secara menyeluruh bagaimana cara kerja organisme ini—dan masih banyak misteri yang harus dipecahkan.
Kita memang tahu apa yang jamur-jamur ini lakukan, tapi masih sangat sedikit yang kita pahami tentang bagaimana mereka melakukannya.
“Semua yang kita miliki saat ini masih sebatas hipotesis,” kata de Bekker.
Menyusuri Hutan Tropis
Dengan dana hibah terbaru yang diterimanya, Araújo akan menjelajahi dunia beragam jamur Ophiocordyceps—baik yang parasitik maupun yang bermanfaat—pada serangga pengisap getah yang biasa ditemukan di sekitar lahan pertanian seperti kopi, jagung, dan kacang-kacangan.
“Kita membutuhkan lebih banyak studi tentang keanekaragaman hayati jamur-jamur ini untuk mengembangkan cara yang lebih cerdas dalam menghadapi dampak perubahan iklim,” ujar Araújo. “Selama ini kita baru menyentuh permukaannya saja.”
Ia dan timnya akan menghabiskan setidaknya 10 bulan menjelajahi hutan-hutan tropis, dimulai dari Brasil, Kenya, Borneo, dan Jepang, untuk mengumpulkan sebanyak mungkin spesimen serangga yang terinfeksi.
Setelah kembali ke laboratorium di Belanda, mereka akan memetakan DNA semua jamur yang ditemukan dalam tubuh serangga, untuk mengidentifikasi keberadaan jamur yang bersifat menguntungkan.
Selanjutnya, setiap jenis jamur akan dianalisis secara genomik guna mencari petunjuk tentang kapan dan mengapa jamur tersebut berevolusi menjadi simbion yang membantu inangnya, serta bagaimana mekanisme hubungan tersebut berlangsung.
“Saya pikir proyek ini akan sangat memperluas pemahaman kita tentang bagaimana sistem simbiosis seperti ini berevolusi,” kata Piotr Łukasik, ahli ekologi evolusioner dari Universitas Jagiellonian di Krakow yang ikut terlibat dalam proyek ini. “Ini adalah bidang yang sangat luas untuk penemuan baru.”
Proyek ini juga berpotensi membantu pengelola hama merespons lebih cepat terhadap serangan serangga invasif. Para ilmuwan bisa melacak asal geografis serangga tersebut dan mengidentifikasi jamur simbion yang mengikutinya—yang kemudian bisa dijadikan sasaran pengendalian di wilayah invasi.
Araújo berharap penelitiannya ini dapat menjadi landasan bagi bentuk baru pengendalian hama yang lebih presisi. “Kita bisa mengembangkan strategi yang jauh lebih efisien untuk mengendalikan hanya hama yang kita targetkan,” ujarnya. “Namun untuk mencapai itu, kita perlu penelitian eksploratif seperti ini.”
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR