Nationalgeographic.co.id—Di balik sejarah panjang kehidupan di Bumi, peristiwa-peristiwa besar sering kali menjadi pemicu perubahan dramatis dalam ekosistem. Salah satunya adalah hilangnya para raksasa purba—dinosaurus. Kepunahan mereka bukan hanya mengubah wajah planet ini, tetapi juga membuka jalan bagi kemunculan bentuk kehidupan baru, termasuk buah-buahan yang kini menjadi bagian penting dalam rantai makanan.
Penelitian terbaru mengungkap keterkaitan menarik antara punahnya dinosaurus terbesar dan evolusi buah yang pada akhirnya turut membentuk jalur evolusi manusia. Kajian Christopher E. Doughty dan timnya itu berjudul “Ecosystem engineers alter the evolution of seed size by impacting fertility and the understory light environment” yang terbit di di jurnal Palaeontology.
Para peneliti menemukan bukti mendukung teori lama yang menyebutkan bahwa kepunahan dinosaurus memiliki pengaruh besar terhadap evolusi buah.
Sauropoda—hewan darat terbesar yang pernah ada—bertindak sebagai insinyur ekosistem. Dengan tubuh raksasa dan nafsu makan luar biasa, mereka merobohkan pohon-pohon dan melahap vegetasi dalam skala besar, membentuk lanskap yang terbuka dan memungkinkan cahaya matahari menyentuh tanah secara langsung.
Namun, setelah para dinosaurus ini punah, hutan-hutan mulai tumbuh kembali dengan lebih rapat dan rindang, menghalangi sinar matahari mencapai dasar hutan. Lingkungan baru ini, dalam jangka waktu panjang, memicu evolusi biji dan buah yang lebih besar—jenis makanan yang ideal bagi banyak spesies hewan, termasuk primata awal yang menjadi leluhur manusia.
Hasil penelitian ini memberikan bukti mekanistik pertama yang mendukung hipotesis tersebut—suatu ide yang telah lama didiskusikan di kalangan ilmuwan, tetapi belum dapat dibuktikan secara konkret melalui catatan fosil. Temuan ini menjadi bagian penting dalam menyusun kepingan puzzle besar mengenai sejarah evolusi kehidupan di Bumi.
“Sekilas, kondisi hutan bawah yang lebih gelap akibat kepunahan dinosaurus mungkin tampak tidak signifikan, tetapi justru bisa menjadi faktor langsung yang memicu evolusi leluhur primata kita yang pemakan buah,” kata Doughty, seperti dikutip dari laman Phys.org.
Bagaimana Proses Ini Terjadi
Lebih dari 66 juta tahun yang lalu, saat dinosaurus raksasa masih mendominasi daratan, biji tumbuhan cenderung berukuran kecil dan buah-buahan masih jarang ditemukan. Namun, setelah kepunahan para raksasa ini, ukuran biji dan buah mengalami peningkatan yang sangat pesat.
Para peneliti menduga bahwa perubahan ini disebabkan oleh kondisi hutan yang menjadi lebih rapat. Dalam hutan seperti itu, persaingan untuk mendapatkan cahaya mendorong pohon-pohon tumbuh lebih tinggi dan cepat dibanding tetangganya.
Pohon yang berasal dari biji besar memiliki keunggulan awal dalam kompetisi tersebut. Selain itu, dengan menghasilkan buah yang lezat dan menarik, pohon-pohon tersebut meningkatkan kemungkinan bijinya dikonsumsi dan tersebar oleh hewan—suatu strategi penting untuk memastikan kelangsungan hidup keturunannya.
Namun, selama ini belum ada cukup bukti konkret untuk mendukung hipotesis tersebut. Untuk itu, tim peneliti membangun sebuah model yang menunjukkan bahwa ukuran biji dan buah cenderung meningkat sebagai respons terhadap kondisi hutan bawah yang makin gelap setelah dinosaurus punah. Hasil dari model ini ternyata selaras dengan pola ukuran biji yang tercatat dalam catatan fosil selama 65 juta tahun terakhir.
Baca Juga: Evolusi Dinosaurus dan Rekonstruksi Ekosistemnya pada Zaman Trias
Model tersebut menggabungkan berbagai aspek: pengaruh hewan besar terhadap struktur hutan, pertumbuhan biji menjadi bibit dan pohon muda, serta perubahan ukuran tubuh hewan dari masa ke masa. Hasilnya menunjukkan kemiripan yang mencolok dengan tren evolusi nyata pada ukuran biji dan hewan di sepanjang waktu.
Semuanya tampak sesuai harapan—hingga model dilanjutkan ke masa 35 juta tahun lalu. Di titik ini, muncul pola mengejutkan: ukuran biji justru mulai mengecil. Hal ini terjadi karena sejumlah hewan darat kembali berevolusi menjadi cukup besar untuk memengaruhi struktur hutan, mirip seperti yang dulu dilakukan oleh dinosaurus, meski skalanya lebih kecil.
“Model kami menunjukkan bahwa hewan-hewan besar ini membuat hutan kembali lebih terbuka, sehingga cahaya matahari bisa menembus hingga ke dasar hutan. Dalam kondisi ini, biji besar tidak lagi memiliki keunggulan,” ujar Christopher Doughty.
Ia menambahkan bahwa tekanan evolusioner untuk menghasilkan biji berukuran besar pun berkurang. Dengan demikian, tren perubahan ukuran biji dapat dijelaskan tanpa harus melibatkan faktor eksternal seperti perubahan iklim.
Potongan Penting dalam Teka-Teki Evolusi
“Hasil ini menunjukkan secara mencolok bagaimana dinosaurus besar—dan kepunahan mereka—tidak hanya membentuk lingkungan saat itu, tetapi juga memicu efek berantai pada ekosistem selama jutaan tahun kemudian,” kata Benjamin Wiebe, kandidat Ph.D di Northern Arizona University dan penulis kedua dalam studi tersebut.
“Lain kali ketika kamu makan buah atau bertanya-tanya ‘mengapa aku ada di sini’, pertimbangkanlah dampak kepunahan dinosaurus.”
Perubahan besar lainnya terjadi sekitar 50.000 tahun yang lalu, saat peristiwa kepunahan massal berikutnya memusnahkan banyak mamalia prasejarah seperti mammoth.
Kehilangan hewan-hewan besar yang berperan sebagai pengatur ekosistem ini menyebabkan hutan menjadi lebih gelap di bagian bawahnya. Model penelitian memprediksi bahwa kondisi ini akan mendorong peningkatan ukuran biji dalam jangka panjang, sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan yang kekurangan cahaya.
Lalu, siapa yang kini paling berpengaruh terhadap evolusi ukuran biji dan buah? Jawabannya adalah manusia—keturunan jauh dari primata pemakan buah yang dulu bergantung pada hasil hutan.
Di banyak wilayah yang telah mengalami kolonisasi manusia, praktik penebangan pohon secara selektif telah mengubah intensitas cahaya yang masuk ke lantai hutan, menciptakan kondisi serupa dengan era dinosaurus.
Namun, jika manusia suatu saat berhenti menjalankan perannya seperti halnya sauropoda, dan tidak ada megafauna lain yang menggantikannya, hutan akan kembali gelap. Maka, siklus kompetisi untuk mendapatkan cahaya akan terulang kembali—dan biji berukuran besar akan kembali unggul dalam perlombaan evolusi.
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, bidaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Lastboy Tahara Sinaga |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR