Nationalgeographic.co.id—Selama berabad-abad di Tiongkok, pria dan wanita berkumpul untuk memainkan permainan yang disebut cuju. Cuju dianggap sebagai bentuk sepak bola kuno. Selain jadi hobi, permainan ini juga menjadi alat politik.
“Cuju memainkan peran penting dalam menjalin ikatan budaya dan sosial di Kekaisaran Tiongkok,” tulis Antonio García di laman Labruju Laverde.
Sebuah studi dipresentasikan oleh Enzo H. Smith pada Young Researchers Conference di Portland University. Studi tersebut menganalisis cuju, asal-usulnya, dan evolusinya menjadi simbol persatuan di Kekaisaran Tiongkok selama lebih dari 1.500 tahun.
Yang menarik, cuju awalnya bukan permainan untuk hiburan, tetapi sebagai semacam latihan fisik. Permainan ini muncul sekitar abad ke-3 SM, selama periode peperangan terus-menerus di antara Negara-negara Berperang. Cuju digunakan untuk membantu prajurit mengembangkan kelincahan, ketepatan, dan kekuatan kaki. Penyebutan pertama ditemukan dalam buku panduan latihan militer dari Dinasti Han, Zhan Guo Ce (Strategies of the Warring States). Buku panduan ini ditulis antara abad ke-5 dan ke-3 SM.
Aturan cuju
Aturan cuju hanya memperbolehkan pemain untuk memukul bola dengan kaki mereka, tanpa menggunakan tangan. Tujuannya adalah untuk memasukkannya ke dalam jaring kecil yang ditempatkan sekitar 10 meter tingginya di antara dua tiang bambu.
Bola terbuat dari kulit yang diisi bulu dan rambut.
Awalnya terbatas pada barak dan markas militer, permainan ini segera menyebar ke masyarakat sipil. Jadi, selama era Dinasti Han di Kekaisaran Tiongkok (206 SM–220 M), permainan ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Baik di istana kekaisaran dan di antara para elite. Cuju juga mulai dimainkan di alun-alun kota dan jalan-jalan kota dan desa.
Wilayah Kekaisaran Tiongkok sangat luas. Wilayah luas itu mencakup orang-orang dengan bahasa, agama, dan adat istiadat yang berbeda. Menurut Smit, membuat setiap orang merasa menjadi bagian dari kekaisaran yang sama merupakan tugas yang rumit. Di situlah cuju memainkan peran penting.
Pemerintah Kekaisaran Tiongkok dengan antusias mempromosikan praktik ini. Mereka sepenuhnya memahami bahwa hal itu membantu memperkuat kohesi kekaisaran. Di istana, kaisar menyelenggarakan pertandingan untuk menunjukkan kedekatan dengan rakyat. Pertandingan juga dimanfaatkan untuk memberi penghargaan kepada pejabat yang setia. Di kota-kota, acara olahraga membantu menjaga keharmonisan di antara penduduk dari berbagai daerah.
Cuju juga berkembang sebagai bentuk seni. Selama era Dinasti Tang di Kekaisaran Tiongkok (618–907), permainan ini menjadi tontonan yang indah. Cuju memiliki aturan yang rumit dan teknik yang canggih. Klub pemain profesional bermunculan, bahkan dengan pelatih dan sponsor, terutama di kota Linzi, ibu kota negara kuno Qi. “Pemain terbaik meraih ketenaran yang mirip dengan aktor atau musisi,” tambah Garcia.
Baca Juga: Total Football Tak Cocok untuk Timnas Indonesia, Ini Evolusi Taktik Sepak Bola Lawas hingga Modern
Selama setiap pertandingan, semua orang berbicara dalam bahasa yang sama—bahasa bola—tanpa memandang provinsi, suku, atau aksen. Kesopanan dan rasa hormat berlaku, dengan perilaku tidak sportif dan perilaku tidak ramah yang dihukum. Lambat laun, rasa kebersamaan muncul di sekitar permainan.
Pertandingan dimainkan dengan kostum warna-warni. Pertandingan disertai dengan gerakan dan musik yang dikoreografi. Bahkan variasi ditambahkan untuk membuatnya lebih menghibur. Terkadang rintangan diperkenalkan atau permainan dimainkan di ruang kecil untuk menunjukkan keterampilan yang lebih hebat.
Wanita juga bermain, dan tentu saja, siapa pun yang mencetak gol terbanyak menang. Meskipun tidak selalu, karena beberapa pertandingan memprioritaskan keterampilan alih-alih mencetak gol.
Pada dasarnya, pertandingan cuju mewujudkan cita-cita keanggunan, disiplin, dan keindahan. Semuanya sejalan dengan cita-cita Konfusianisme pada saat itu. Cuju mempraktikkan kebajikan melalui gerakan.
Namun, nasib cuju berubah seiring waktu. Selama Dinasti Song Kekaisaran Tiongkok (960–1279), permainan ini mencapai puncaknya. Pertandingan umum dapat dilihat di lapangan umum, sekolah, dan bahkan halaman kuil. Setelah invasi Mongol dan kebangkitan Dinasti Yuan (1271–1368), olahraga ini kehilangan dukungan resmi.
Lambat laun, olahraga ini dianggap sebagai pengalih perhatian yang tidak produktif. Bahkan beberapa penguasa melarangnya karena dikaitkan dengan waktu luang yang berlebihan. Setelah itu, cuju masih ada di daerah pedesaan tertentu atau sebagai bagian dari cerita rakyat. Tapi olahraga ini tidak pernah mendapatkan kembali tempat utamanya yang telah dipegangnya selama berabad-abad.
Saat ini, FIFA menganggapnya sebagai cikal bakal atau leluhur sepak bola modern, bersama dengan permainan lain. Seperti harpastum Romawi dan episkyros Yunani kuno. Di Jepang, sekitar abad ke-2 Masehi, muncul pula varian cuju yang disebut kemari. Namun kemari lebih bersifat seremonial.
--
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat! Dapatkan berita dan artikel pilihan tentang sejarah, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui WhatsApp Channel di https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News di https://shorturl.at/xtDSd. Jadilah bagian dari komunitas yang selalu haus akan ilmu dan informasi!
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR