Nationalgeographic.co.id—National Geographic Indonesia menggelar Community Meet-Up & Talkshow di National Geographic Store, Pondok Indah Mall 1 Jakarta. Rangkaian kegiatan ini berlangsung pada Sabtu, 31 Mei 2025.
Kegiatan ini diharapkan bisa menjadi wadah untuk mempererat hubungan antaranggota komunitas yang peduli pada isu lingkungan, serta untuk bertukar wawasan bersama para narasumber yang berpengalaman dalam bidang konservasi dan pemberdayaan pesisir.
Di lokasi acara, beberapa narasumber mengisi talkshow bertajuk "Ketahanan Pesisir Indonesia: Solusi Infrastruktur, Alam, dan Perencanaan Berkelanjutan".
Mahawan Karuniasa, Dewan Pengawas Yayasan Sahabat Peduli Bumi sekaligus Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, mengatakan saat ini umat manusia sedang menghadapi tiga krisis planet (triple planetary crisis), yaitu perubahan iklim, pencemaran atau polusi, dan kehilangan keanekaragaman hayati.
Bahkan, menurut Mahawan, ada lebih banyak ancaman krisis yang sedang kita hadapi. "Polikrisis," tegasnya. Polikrisis adalah keadaan di mana berbagai krisis terjadi secara bersamaan atau berurutan dan saling memengaruhi satu sama lain, menciptakan dampak yang luas dan kompleks.
Dan salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai krisis ini adalah masyarakat Indonesia. "Hampir 7 juta penduduk Indonesia itu rentan, khususnya di wilayah pesisir," ujar Mahawan.
"Hampir seluruh wilayah pesisir kita rentan perubahan iklim. Selama ini masih banyak orang yang bertahan karena persoalan ekonomi."
Mahawan mengatakan isu pesisir sangatlah penting bagi perekonomian Indonesia. Sebab, 60-70% penduduk Indonesia tinggal di kabupaten/kota pesisir. Dan secara khusus, catat Mahawan, "Pantai utara Jawa merupakan kontributor 39% ekonomi Indonesia."
Mahawan juga menyoroti nasib masyarakat miskin di pesisir yang amat rentan terdampak perubahan iklim. "Masyarakat yang pendapatannya makin rendah itu yang makin rentan. Tanpa solusi, mereka akan menjadi bagian yang paling terdampak."
Oleh karena itu, Mahawan menggarisbawahi krusialnya upaya mitigasi dan adaptasi iklim untuk meningkatkan ketahanan kita terhadap perubahan iklim. "Jadi ketahanan itu intinya adalah adaptasi. Adaptasi adalah mengurangi kerentanan dampak perubahan iklim," ujarnya.
Ia juga menekankan, "Solusi infrastruktur dan solusi berbasis alam, dan perencanaan berkelanjutan perlu untuk diintegrasikan" untuk membangun ketahanan iklim.
Salah satu solusi yang bisa kita manfaatkan untuk mewujudkan hal itu adalah perkembangan sains dan teknologi. Mahawan memberi contoh kasus pemanasan global yang telah membuat air laut kian hangat.
Pemanasan air laut itu telah membuat ikan-ikan berenang menjauh. "Bisakah kita membuat teknologi yang bisa menjaga suhu di perairan tertentu tetap stabil? Atau bisakah kita melakukan rekayasa genetik sehingga membuat ikan-ikan lebih tahan terhadap air yang lebih panas?"
Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, punya pengalaman mengenai teknologi nyata yang mampu menekan laju pengurangan keanekaragaman hayati di Indonesia. Nama teknologi itu adalah pinger, dibuat oleh ilmuwan konservasi Danielle Kreb dan Budiono di Kalimantan Timur.
"Teknologi itu mampu mencegah kematian pesut mahakam dari ancaman terjerat jaring nelayan," katanya.
Namun selain mengakui pentingnya teknologi, Didi juga menambahkan pentingnya menerapkan kearifan lokal yang terus dilestarikan oleh masyarakat adat. Kita perlu mengadopsi kearifan lokal seperti sasi untuk mengelola sumber daya laut dan pesisir kita. "Perlindungan dan pengelolaan alam akan lebih melibatkan masyarakat lokal setempat."
Lebih jauh, Didi juga mengajak kita semua lewat gerakan SayaPilihBumi untuk mulai berbuat nyata mendukung kelestarian Bumi sekaligus saling menyatukan dan menguatkan gerakan tersebut. "Kita banyak aksi yang kecil-kecil dan sporadis. Hari ini yang kita butuhkan satu desakan yang berkesinambungan," ujar Didi.
Maureen R. Tuahatu, Ketua Yayasan Sahabat Peduli Bumi, juga sepakat bahwa kita harus menjadikan diri kita "sebagai orang yang berbuat." Bukan hanya menunggu dan berpikir akan ada orang lain saja yang melestarikan Bumi.
Jangan sampai kita menganggap segala bencana seperti banjir sungai dan rob, amblesnya tanah, naiknya muka air laut dan sebagainya sebagai sesuatu yang sudah biasa. "Seolah-olah kita tidak mau berbuat memperbaikinya," ujarnya.
"Kita butuh pantai. Kita butuh pesisir kita," tegasnya. Oleh karena itu kita perlu menjaganya.
Salah satu cara yang dilakukan Maureen adalah menghimpun gerakan baik pelestarian pesisir melalui kerja sama antara Yayasan Sahabat Peduli Bumi dengan National Geographic Indonesia. Maureen berseru, "Kita jaga Bumi, Bumi jaga kita."
Akhirnya, Mahandis Yoanata Thamrin, Managing Editor National Geographic Indonesia yang menjadi moderator dalam talkshow ini, merangkum ucapan para pembicara bahwa jelas kawasan pesisir kita rentan terhadap bencana.
"Kita perlu solusi iklim," tegas Yoan, sapaan Yoanata. "Tampaknya kebijakan yang ada selama ini cenderung berbasis terestrial atau darat sehingga pesisir terlupakan, sementara masyarakat pesisir sangat terdampak perubahan iklim."
"Kita juga membutuhkan empati kepada masyarakat pesisir," imbuhnya, agar kita bisa dekat dengan masyarakat dan membangun solusi ketahanan iklim yang efektif.
Yoan juga mengulangi perkataan Maureen, "Tampaknya banyak dari kita telah terbuai dengan pandangan bahwa akan ada orang lain yang menyelesaikan masalah iklim ini. Tapi sebenarnya, seharusnya kita sendirilah yang menyelesaikannya."
---
Pengetahuan tak terbatas kini lebih dekat. Simak ragam ulasan jurnalistik seputar sejarah, budaya, sains, alam, dan lingkungan dari National Geographic Indonesia melalui pranala WhatsApp Channel https://shorturl.at/IbZ5i dan Google News https://shorturl.at/xtDSd. Ketika arus informasi begitu cepat, jadilah bagian dari komunitas yang haus akan pengetahuan mendalam dan akurat.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR