Telur aepyornis dapat berbobot lebih dari 9 kg, dengan volume internal yang cukup untuk menampung lebih dari seratus telur ayam.
Tidak jelas mengapa burung yang mengagumkan ini punah. Tapi kemungkinan besar hal itu berasal dari kombinasi perubahan iklim, serta perburuan oleh manusia. Juga gangguan lingkungan yang terjadi saat ternak diperkenalkan ke Madagaskar.
Pelagornis sandersi
Meskipun Aepyornis maximus saat ini dianggap sebagai burung terbesar sepanjang masa, burung itu tidak bisa terbang. Burung terbang terbesar hidup jauh lebih awal, 25 juta tahun yang lalu, di tempat yang sekarang disebut Carolina Selatan. Dengan lebar sayap yang membentang 6,4 meter dari ujung ke ujung, Pelagornis sandersi melampaui batas seberapa besar burung terbang.
Sekilas, Pelagornis sandersi mungkin tampak seperti burung albatros yang sangat besar. Namun “senyumnya” yang tajam membedakan burung itu. Pelagornis termasuk dalam kelompok burung yang mengembangkan tonjolan paruh seperti paku yang menyerupai gigi gergaji busur. Gergaji busur itu menjadi “gigi” palsu yang membantu burung menangkap mangsa yang licin dan menggeliat.
Pelagornis sandersi memiliki proporsi burung dan kemiripannya dengan albatros pengembara masa kini. Karena itu, ahli paleontologi menduga bahwa Pelagornis sandersi menghabiskan sebagian besar hidupnya terbang tinggi di atas lautan.
Otodus megalodon
Ada kesan bahwa segala sesuatu lebih besar di zaman dinosaurus. Tapi beberapa hewan laut terbesar sepanjang masa berevolusi dalam puluhan juta tahun setelah tubrukan asteroid. Selama Zaman Kapur Akhir, misalnya, hiu terbesar tumbuh hingga sepanjang 7.6 meter. Namun sekitar 23 juta tahun yang lalu, hiu yang jauh lebih besar telah berevolusi—Otodus megalodon.
Ahli paleontologi memperdebatkan ukuran maksimum Otodus megalodon selama beberapa dekade. Kemudian, perkiraan terbaru menempatkan hiu tersebut di antara 10 dan 16 meter panjangnya. Ukuran tersebut menjadikannya sebagai predator terbesar yang pernah ada.
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR