Popok yang diproduksi menjadi ancaman ekosistem dan tidak baik untuk kesehatan karena bahan baku penyusun popok 100 persen berbahaya dan beracun (B3), super absorben polymer/SAP (polimer penyerap super) menyusun 42 persen pospak bahan kimia berbentuk serbuk gel penyerap cairan.
Keluarga dengan bayi berusia kurang dari tiga tahun sangat bergantung pada popok sekali pakai (pospak). Penggunaan pospak seolah tidak tergantikan lagi.
Brigade Evakuasi Popok (BEP) melakukan survei kepada 700 orang yang tinggal di wilayah urban atau perumahan dan pinggiran kota (sub urban). Hasilnya, 92,8 persen di perumahan merasa lebih nyaman dan mudah jika menggunakan pospak.
Namun, 85 persen dari mereka membuang popok tanpa memperhatikan aspek keamanan lingkungan karena seringkali popok dibuang tanpa dibersihkan dulu, dengan kotoran yang menempel.
Yang menjadi masalah adalah bahwa 70 persen pengguna pospak tak mengetahui bahaya kesehatan dan dampaknya pada lingkungan.
Dalam survei BEP, dampak kesehatan pada penggunaan pospak telah terdeteksi di mana dari empat kasus yang ditemukan anak harus disunat dini karena gangguan pemakaian popok yang lama tidak diganti.
Baca Juga : Mengubah Sampah Popok Menjadi Perabot Rumah Tangga, Bagaimana Caranya?
Bukan hanya itu saja, pada alat kelamin balita ditemukan adanya kotoran yang menyumbat saluran kencing sehingga ahli kesehatan menyarankan agar balita disunat lebih dini.
Hingga kini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih merumuskan desain dan standar pospak ramah lingkungan.
Dalam investigasi yang dilakukan oleh BEP, 99 persen bahan baku popok berbahaya dan beracun. KLHK pun memasukkan sampah popok dalam kategori sampah berbahaya dan beracun. Adapun kandungan dan ancaman kesehatan yakni super absorben polymer (SAP), sodium poliacrylate microplastic, microbeads yang berdampak pada keracunan, radang dan cidera paru-paru.
Ada pula kandungan selulosa (bubur kayu) tributilin berupa limbah B3, dampaknya mengganggu hormon dan iritasi kulit. Selain itu, ada styrene dermatitis, yang dapat menyebabkan depresi sistem syaraf pusat.
Source | : | mongabay.co.id |
Penulis | : | Nesa Alicia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR