Nationalgeographic.co.id - Kekerasan yang terjadi antarsuporter pendukung klub bola, kembali terjadi. Kematian Haringga Sirla, pendukung klub bola Persija Jakarta menambah angka jumlah orang meninggal akibat kekerasan dalam pertandingan sepakbola, menjadi 63 orang.
Peristiwa ini tidak hanya mengenai permusuhan antara kedua klub bola, Bobotoh (pendudung klub Persib Bandung) dan The Jak Mania (pendukung klub Persija Jakarta). Namun di Indonesia sendiri, rivalitas suporter memang sudah kelewat batas. Tidak hanya menimbulkan kerusakan fasilitas, tetapi seringkali permusuhan yang terjadi juga memakan korban dari salah pihak.
Melansir Pandit Football pada Selasa (25/9/2018), kekerasan suporter memang lahir dari kultur masyarakat Indonesia itu sendiri. Dalam kasus lain, segala bentuk peristiwa yang terjadi pasti akan dilakukan dengan kekerasan. Seperti seseorang yang ketahuan mencuri akan dipukuli massa atau pun pengendara yang menabrak seseorang hingga tewas juga akan dipukuli massa.
Baca Juga : Mengapa Pemain Sepak Bola Meludahkan Minumannya? Ini Penjelasannya
Dalam pengeroyokan yang terjadi, pasti ada beberapa pihak yang sebenarnya mengetahui akar permasalahan. Namun karena hasutan dan teriakan mayoritas lainnya, mereka langsung bertindak dan seolah dibenarkan untuk menghakimi seseorang. Bahkan hingga kehilangan nyawa.
Coba Anda bayangkan, bila dalam kehidupan sehari-harinya, korban tidak memiliki musuh, tetapi harus meregang nyawa di tangan rival klub sepak bola yang ia dukung. Lalu bagaimana seharusnya yang dilakukan suporter saat mendukung klubnya sendiri?
Tentu tidak ada aturan tertulis mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan ketika mendukung klub kebanggaannya. Namun satu hal yang harus diperhatikan adalah batasan-batasan tertentu ketika seorang suporter mendukung klubnya. Salah satunya adalah menghindari kontak fisik yang secara gamblang sudah diatur oleh hukum pidana.
Dalam dunia sepak bola luar juga tidak terhindar dari jatuhnya korban, tetapi kasus kekerasan yang terjadi dapat terminimalisasi oleh tingkat keamanan yang baik. Selain itu, penegakan hukum yang berimbang juga dinilai sebagai cara yang efektif.
Walaupun di luar Indonesia juga terdapat suporter yang fanatik dan kejam, mereka lebih memilih untuk meneror pemain lawan dibandingkan dengan harus melakukan kekerasan. Pemain lawan sengaja diteror agar performa di lapangan terlihat buruk sehingga klub yang didukungnya meraih kemenangan.
Mengambil contoh dari perselisihan antara Bobotoh dan The Jak, seperti yang diceritakan oleh Eko Noer, pengamat sepakbola Bandung, permusuhan ini dimulai karena kesalahpahaman yang terjadi pada akhir tahun 90-an. Kala itu, kedua suporter sama-sama kecewa karena tidak dapat menyakisikan laga Persib melawan Persija di Stadion Siliwangi, Bandung.
Keduanya kemudian berselisih. Bobotoh kecewa karena The Jak Mania dapat masuk ke stadion, sementara The Jak Mania kecewa karena sudah datang jauh-jauh namun tidak dapat masuk ke stadion.
Peristiwa ini semakin berlanjut dan membesar karena adanya saling balas dalam setiap pertemuan klub mereka. Apalagi setelah memakan korban, perselisihan ini semakin sulit untuk diredakan. Dendam seakan semakin membara.
Baca Juga : Dari Mana Olahraga Sepak Bola Berasal? Ini Penjelasan Peneliti
Randy Aprialdi, pengamat kultur suporter luar negeri menyebut bahwa rivalitas di Indonesia terlampau kejam. Di luar negeri, tidak ada pengeroyokan seorang suporter yang tewas oleh suporter lawannya. Namun di Indonesia, suporter yang meninggal biasanya dipukuli oleh banyak orang (bukan 1 lawan 1) bahkan korban dipukuli dengan menggunakan benda-benda yang ada disekitar mereka.
Dari sini terlihat letak perbedaan rivalitas antara suporter Indonesia dan luar negeri. Bila di Indonesia perselisihan terjadi karena masalah biasa seperti saling ejek, salah paham, atau sekadar tidak menerima kekalahan, di luar negeri, perselisihan muncul karena adanya perbedaan ideologi, dampak budaya, lingkungan sosial, hingga dampak dari peperangan yang terjadi di masa lalu.
Source | : | pandit football |
Penulis | : | Nesa Alicia |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR