Nationalgeographic.co.id - Kebijakan tidak mengenal konflik di kawasan hutan. Istilah konflik dalam sebuah kebijakan hanya berlaku bagi konflik yang terjadi di luar kawasan hutan. Logikanya, kawasan hutan memang rumah bagi satwa liar. Lantas, bagaimana dengan kawasan hutan yang dihuni manusia?
Mendung menggantung di langit Desa Margomulyo, Semaka, Tanggamus, Lampung. Dalam cuaca yang redup itu, satuan tugas mandiri konflik satwa liar berkumpul di gardu kecil di tepi jalan. Mereka duduk berdesakan. Penyuluh taman nasional, Riyanto, terpojok di sudut gardu. Ia mengingatkan satgas atas kerawanan desa karena berada tepat di batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
“Margomulyo dekat letaknya dengan taman nasional, sehingga satwa liar sering datang. Dampaknya, sering terjadi konflik satwa liar: harimau, gajah, dan beruang. Karena hutan adalah rumahnya satwa, konflik bisa terjadi kapan saja,” terang Riyanto.
Baca Juga : Banyak Hewan Laut Terdampar di Pesisir Pantai, Akibat Pengaruh Gempa?
Entah sudah berapa kali Riyanto mengingatkan warga untuk waspada. “Taman nasional tidak bosan-bosan mengingatkan untuk menjaga aset ternak dan tanaman kebun dari serangan satwa,” lanjutnya. “Saat ada konflik, WCS (Wildlife Conservation Society) juga membekali mitigasi secara intensif dan menyemangati masyarakat.”
Catatan yang diterbitkan oleh Tim Projek Sumatran Tiger menyebutkan bahwa konflik antara manusia dan harimau secara garis besar terbagi menjadi empat jenis konflik. Pertama adalah harimau liar, terjadi ketika harimau ditemukan berkeliaran di sekitar permukiman atau desa sehingga menyebarkan ketakutan. Namun, tidak ada korban, baik itu manusia atau harimau.
Kedua adalah serangan harimau terhadap ternak. Ternak yang dipelihara warga, seperti sapi, kambing, dan ayam adalah sasaran empuk bagi harimau. Ketiga adalah serangan terhadap manusia, yaitu ketika harimau menyerang manusia sehingga mengakibatkan luka atau jatuh korban. Yang terakhir, pembunuhan harimau oleh manusia dengan menggunakan racun, jerat, senjata, dan peralatan lainnya.
Riyanto menegaskan bahwa konflik telah menjadi fakta hidup. “Hanya ada dua pilihan, masyarakat pindah atau harimau dihabiskan. Sederhananya begitu, tapi itu tidak mungkin,” paparnya. Ia sebenarnya sedang menggugah semangat satgas.
“Ya, tidak mungkin masyarakat pindah,” timpal Lasino, kepala satgas. Lasino juga berperan sebagai Ketua Rukun Tetangga 6 yang wilayahnya berbatasan langsung dengan taman nasional. “Interaksi dengan kawasan taman nasional dan satwa liar bukanlah suatu hal yang baru di Margomulyo. Taman nasional itu tetangga sehingga kami saling menjaga.”
Di sekitar taman nasional, ada dua desa mandiri konflik, yaitu Margomulyo dan Pesanguan. “Melihat tantangan selama ini, seperti pola konflik, terbatasnya sumber daya manusia, lokasi yang jauh dan terpencil, kita akhirnya menggagas masyarakat yang menangani konflik secara mandiri,” papar Tabah, anggota Wildlife Response Unit WCS. “Selama ini, kita hanya menjadi ‘pemadam kebakaran’. Menangani konflik setelah terjadi dan sudah jatuh korban ternak.”
Salah satu bentuk pencegahan adalah kandang ternak antipemangsaan untuk melindungi kambing dari serangan harimau dan beruang. Kambing merupakan tabungan warga untuk memenuhi kebutuhan mendadak, yang tidak bisa dipenuhi dari pendapatan musiman. Upaya serupa juga dilakukan di permukiman sekitar kawasan hutan yang berdampingan dengan taman nasional.
Penulis | : | Lajovi Pratama |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR