Dalam keramaian penonton, tubuh Harun Nahri tenggelam di antara kerumunan muda-mudi yang trendi. Mulutnya komat-kamit menirukan mantra adat yang kini jadi tembang berirama itu. Tubuhnya bergetar. “Syair itulah yang dulu diucapkan tetua adat saat me-Ngagah Harimau,” kata lelaki 75 tahun ini.
Ngagah Harimau adalah tradisi Pulau Tengah untuk menyantuni harimau yang mati. Istilah lokalnya, bayar bangun. Dahulu, setiap ada harimau mati, warga mengaraknya dengan tepuk tari, silat pedang, silat tangan kosong, dan silat tombak. Pemangku adat lantas menyeru penunggu pematang di tujuh bukit, tujuh jurang, tujuh pematang, untuk menyaksikan ini.
“Setelah disantuni, selesai perselisihan. Manusia dan harimau kembali harmonis demi kenyamanan anak-cucu.” Bila tidak dibayar bangun, lanjut Harun, harimau hidup akan kembali mengganggu masyarakat.
Baca Juga : Dari Hulk Hingga Einstein, NASA Rilis 21 Nama Rasi Bintang Terbaru
Semenjak 1960-an, Pulau Tengah sudah tidak lagi menggelar Ngagah. Karena, ujar Harun, sudah tidak ada harimau mati. Tanpa kreativitas Harun, tradisi sejenis mitigasi konflik ini tidak akan dikenal generasi muda. Namun, tradisi itu kini hidup lagi.
Dahulu, Kerinci adalah hutan belantara. “Harimau bisa saja menghabiskan manusia Kerinci. Tapi harimau tidak mau,” ucapnya. Ia pun menyaksikan betapa manusia membabati hutan belantara di perbukitan Pulau Tengah. Bukit yang menaungi desa perlahan gundul.
Mendekati puncak, tempo irama kian cepat. Tubuh Mesi Anggraeni melayang, lalu melabrak patung harimau. Pawang Ngagah menghela remaja putri itu. Mesi mengerang, jari-jari tangannya mencakari tanah. Dua penonton terkapar di tepi kalangan pentas.
Para penari bergelimpangan. Kini tinggal tiga penari yang masih sadar, dan melanjutkan pertunjukan. Hingga akhir, yang gaib masih terperangkap dalam tubuh Mesi.
Bertahun-tahun, melalui kesenian ini, Harun mengirim pesan punahnya harimau kepada siapa saja. Di mana saja, dan kapan saja, saat sanggar tari yang digawangi anak-anak muda Pulau Tengah mementaskan Ngagah Harimau. Tetapi, “saya tidak didengar. Saya ini suara parau manusia kerdil dari tepi Danau Kerinci,” katanya. Ada emosi yang tertahan di tubuhnya yang renta.
Penulis | : | Lajovi Pratama |
Editor | : | Gregorius Bhisma Adinaya |
KOMENTAR