Nationalgeographic.co.id - Para arkeolog di Meksiko telah menemukan kuil pertama dari dewa pra-Hispanik, Xipe Totec. Ia dikenal sebagai dewa kesuburan dan dewa perang yang dipuja dengan mengorbankan dan menguliti manusia.
Bukti yang ditemukan menunjukkan bahwa para imam kerap mengorbankan manusia di salah satu altar bundar di kuil saat melakukan ritual. Kemudian mereka melepas kulit korban di sisi lainnya.
Para sejarawan telah lama mengetahui bahwa Xipe Totec disembah oleh banyak orang di sepanjang Meksiko Tengah dan Pusat, serta Teluk Pantai.
Meski begitu, penemuan yang berada di reruntuhan situs arkeologi Ndachjian-Tehuacan di Puebla tersebut, merupakan kuil pertama yang didekasikan untuk Xipe Totec.
Baca Juga : Dua Granat Kuno Ditemukan di Dekat Bangkai Kapal Dari Abad ke-17
Artefak yang terungkap di situs meliputi tiga patung batu Xipe Totec, serta kepala dan bagian tubuh tanpa kulit yang ditutupi ukiran khas dewa.
"Patung yang ditemukan sangat indah. Ia memiliki tinggi sekitar 80 sentimeter dan ada lubang di perutnya. Menurut sumber sejarah, batu hijau dulunya diletakkan di sana untuk membawa Dewa ke kehidupan saat ritual," papar Noemi Castillo Tejero, pemimpin proyek arkeologi ini.
Sementara itu, tengkorak manusia yang ditemukan berukuran 70 sentimeter dan beratnya mencapai 200 kilogram.
Baca Juga : Ukiran Kuno yang Tersembunyi Selama 600 Tahun Ditemukan di Makam Uskup
Diperkirakan kuil tersebut digunakan sekitar tahun 1000 hingga 1260. Mexico's National Institute of Anthropology and History mengatakan bahwa Xipe Totec merupakan salah dewa paling penting dalam sejarah pra-Hispanik Meksiko. Ia dipuja melalui ritual bernama Tlacaxipehualiztli, yang menurut bahasa asli Nahuati berarti 'memakai kulit seseorang'.
Korban upacara biasanya dibunuh melalui pertarungan gladiator atau ditembak dengan panah. Mereka kemudian dikuliti demi mengagungkan Xipe Totec. Kulit-kuli mereka kemudian dipersembahkan dan dikubur di kaki altar di dalam kuil.
Source | : | AFP |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR