Nationalgeographic.grid.id—Memilukan. Mengerikan. Memuakkan. Barangkali demikian ungkapan yang terlontar jika mengenang kembali kehidupan feodal yang penuh dengan kontroversi. Terlebih, persoalan dalam memandang perempuan.
Di zaman modern, perempuan telah menempatkan diri sebagai lakon dari tumbuhnya suatu peradaban. Mereka menjadi kunci-kunci keberhasilan demi keberhasilan dari suatu tatanan kehidupan.
Namun, sebenggol kisah masa lewat tidak akan pernah melupakan fenomena-fenomena memuakkan dari alam feodal yang cenderung patriarki: mengedepankan hasrat dan kesenangan para lelaki tanpa mengindahkan nasib yang sebaliknya ditimpakan kaum perempuan.
Seorang anak manusia yang lahir ke dunia tak dapat memilih, lahirkah ia dari keluarga terpandang berkedudukan, atua malah dilahirkan di keluarga miskin melarat?
Beruntung nasibnya, para perempuan yang lahir di kalangan bangsawan. Ia terpelajar dan mendapat keberuntungan sepanjang hidup. Lain cerita untuk seorang anak perempuan yang lahir dikeluarga miskin melarat.
Sepanjang hidupnya terpancang pada kemalangan dan kemuraman. Terkungkung pada sistem feodal yang siap menerkamnya saat beranjak menjadi seorang gadis jelita. Mengerti kehidupan perempuan remaja-dewasa akan sama mengerikannya dengan hidup rimba.
Mengerikan, dengan caranya tersendiri, cara-cara dalam sistem feodal.
Kekangan terhadap kaum perempuan oleh kalangan pembesar Jawa juga dimunculkan dalam roman gubahan Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca (1988) dan Gadis Pantai (1962). Seperti tertuang dalam novel Gadis Pantai yang menggambarkan pengagungan sosok bendoro sebagai seorang priyayi Jawa.
Mula-mula, Gadis Pantai sebagai pseudonim dari tokoh yang ditulis Pram, merupakan sosok perawan remaja yang bebas, hidup di kawasan pesisir pantai Jawa. Ia terbiasa dengan suasana alam bebas dengan deburan ombak pantai, sebelum keluarganya diminta menyerahkannya pada seorang priyayi Jawa, Bupati Rembang.
Gadis Pantai adalah simbolisme perempuan Jawa yang diharuskan tunduk dan patuh atas semua perintah yang keluar dari kehendak bendoro. Keterkekangan tampil di sepanjang cerita, di mana Gadis Pantai diajari berbagai cara untuk dapat melayani tuannya dengan baik.
Suatu ironi keterbelengguan perempuan Jawa atas ketidakmampuannya keluar dari sebuah tatanan yang menyudutkan dirinya. Gadis Pantai telah kehilangan rasa mardika dalam diri, tergantikan kekangan yang mengurung dalam tembok kokoh rumah seorang bupati.
Baca Juga: Tak Punya Uang Sampai Dibui: Dinamika Hidup Seorang Pramoedya
2 Astronaut NASA Terjebak di ISS Selama 9 Bulan: Alasan dan Cara Bertahan Hidup
Source | : | Gadis Pantai (2003),Rumah Kaca (2006) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR