Nationalgeographic.grid.id—Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus merosot tajam. Pada perdagangan sesi pertama hari ini, Selasa, 18 Maret 2025, IHSG anjlok hingga 395,87 poin, atau setara dengan 6,12 persen, hingga mencapai level 6.076,08.
Penurunan ini memperpanjang tren negatif yang telah berlangsung selama empat hari berturut-turut. Bahkan, pada pukul 11.19 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS), perdagangan IHSG terpaksa dihentikan sementara selama 30 menit karena penurunan yang mencapai 5 persen.
Kondisi ini mengingatkan kita pada peristiwa kelam di masa lalu, tepatnya pada tahun 1929, ketika pasar saham Amerika Serikat mengalami kejatuhan yang mengguncang dunia.
Peristiwa yang dikenal sebagai 'Black Tuesday' itu bukan sekadar penurunan nilai saham, tetapi awal dari bencana ekonomi global yang dikenal sebagai Great Depression.
Lantas, bagaimana sebenarnya kejatuhan pasar saham pada tahun 1929 itu bisa memicu depresi ekonomi terparah dalam sejarah? Apakah ada kesamaan pola dengan kondisi pasar saham saat ini?
Mari kita telusuri lebih dalam, menggali akar permasalahan yang menyebabkan kehancuran pasar saham 1929 dan dampaknya yang luas, serta belajar dari sejarah agar kita dapat mengantisipasi dan menghindari terulangnya tragedi serupa di masa depan.
Kala 16 juta lembar saham berpindah tangan dalam satu hari
Pada tanggal 29 Oktober 1929, Wall Street menjadi saksi bisu dari sebuah peristiwa yang mengguncang dunia keuangan: kejatuhan pasar saham yang dahsyat.
Lebih dari 16 juta lembar saham berpindah tangan dalam satu hari yang kelam di Bursa Efek New York, seperti dilansir laman History, melenyapkan miliaran dolar kekayaan dan menghancurkan impian ribuan investor.
Peristiwa yang dikenal sebagai "Black Tuesday" ini bukan sekadar gejolak pasar biasa, melainkan awal dari sebuah bencana ekonomi yang akan melanda Amerika Serikat dan seluruh dunia industri: Great Depression, kemerosotan ekonomi terparah dan terlama dalam sejarah dunia industri Barat.
Sepanjang dekade 1920-an, pasar saham Amerika Serikat mengalami pertumbuhan yang luar biasa pesat, mencapai puncaknya pada Agustus 1929. Namun, di balik gemerlap "Roaring Twenties", produksi sebenarnya telah menurun dan pengangguran meningkat, menciptakan gelembung spekulasi di mana nilai saham jauh melampaui nilai riilnya.
Baca Juga: Kadin: Sustainability Jadi Kunci Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
2 Astronaut NASA Terjebak di ISS Selama 9 Bulan: Alasan dan Cara Bertahan Hidup
KOMENTAR