Upah yang rendah, praktik utang yang meluas, sektor pertanian yang kesulitan, dan pinjaman bank besar yang sulit dicairkan menjadi faktor-faktor yang memperparah situasi ini.
Penurunan harga saham mulai terlihat sejak September dan awal Oktober 1929, memicu kepanikan yang mencapai puncaknya pada tanggal 24 Oktober, yang dikenal sebagai Black Thursday, ketika rekor perdagangan 12.894.650 lembar saham tercatat.
Upaya stabilisasi pasar oleh perusahaan investasi dan bankir terkemuka hanya memberikan sedikit kelegaan pada hari Jumat.
Namun, badai kembali menerjang pada hari Senin, yang dikenal sebagai Black Monday, dan mencapai puncaknya pada Black Tuesday, 29 Oktober 1929, ketika 16.410.030 lembar saham diperdagangkan dalam satu hari yang penuh kepanikan.
Kerugian miliaran dolar melenyapkan ribuan investor, dan mesin ticker saham mengalami keterlambatan berjam-jam karena volume perdagangan yang sangat besar.
Meskipun harga saham sempat mengalami pemulihan singkat, tren penurunan secara keseluruhan terus berlanjut, membawa Amerika Serikat ke dalam jurang Great Depression. Pada tahun 1932, nilai saham hanya tersisa sekitar 20 persen dari nilainya pada musim panas 1929.
Kehancuran pasar saham 1929 bukan satu-satunya penyebab Great Depression, tetapi peristiwa itu mempercepat keruntuhan ekonomi global dan merupakan salah satu gejalanya.
Harga saham terus merosot hingga tahun 1932, ketika Indeks Dow Jones Industrial Average—tolok ukur yang banyak digunakan untuk saham-saham unggulan di Amerika Serikat—ditutup pada 41,22, nilai terendahnya pada abad ke-20, yaitu 89 persen di bawah puncaknya.
KOMENTAR