Sejarah ditanamnya pohon kina pertama di Indonesia ditandai dengan sebuah tugu yang dibangun di sebuah taman yang berlokasi di Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Di taman itulah Franz Wilhelm Junghuhn seorang peneliti botani kelahiran Mansfeld/Magdeburg-Prusia 26 Oktober 1809 yang akhirnya menjabat sebagai perwira kesehatan pada pemerintahan kolonial Belanda, pertama kali menanam bibit pohon kina di Indonesia yang bermanfaat untuk pengobatan penyakit malaria dan bahan dasar obat.
Di taman itu pula Junghuhn tutup usia pada 24 April 1864. Hal itu diperingati dengan sebuah tugu. Pada prasasati yang terletak di bawah tugu, tercatat nama Franz Wilhelm Junghuhn.
Hingga saat ini, masyarakat mengenal taman tersebut sebagai taman Junghuhn. Hingga saat ini, bukti sejarah berupa pohon-pohon kina pertama di Indonesia itu masih tertanam di atas tanah taman yang saat ini diberi nama Cagar Alam Junghuhn.
Namun sayang, taman yang seharusnya indah dan menjadi salah satu perpustakaan alam ini hancur tidak terawat.
Meski tugu peringatan Junghuhn masih berdiri tegak, namun terlihat kusam, sampah-sampah makanan kecil dan botol minuman berserakan di sisinya. Tanaman yang berfungsi sebagai pembatas hancur diinjak-injak, kursi-kursi besi berkarat lantaran cat hijau yang melapisinya mulai terkelupas dimakan dinginnya udara lembang.
Bahkan, bunga-bunga pun seperti enggan berkembang. Yang lebih parah, taman sejarah ini malah dijadikan jalan pintas untuk masyarakat. Sebab, taman junghuhn memang dikelilingi oleh rumah-rumah warga. Tak ayal, tanah-tanah yang seharusnya dihiasi rumput-rumput hijau malah dipenuhi debu-debu.
Selain itu, kondisi tanah pun rusak, jalur-jalur bekas terinjak pejalan kaki dan digerus roda sepeda motor semakin dalam, menambah tidak sedapnya pemandangan di taman tersebut.
Tak terawatnya taman diakui oleh Ketua RT 02 RW 07 Kampung Genteng Desa Jayagiri Kecamatan Lembang Didi Rukmana lantaran tidak jelasnya siapa yang bertanggung jawab mengelolanya.
Meski demikian, pada "plang" yang berada di depan pintu masuk taman Junghuhn tertulis jika taman ini merupakan tanggungjawab dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jawa Barat.
"Masih bingung siapa yang bertanggungjawab. Taman itu masuk RT atau RW mana juga tidak jelas. Kita juga tidak mau dibebankan dan takut dipersalahkan," kata Didi saat ditemui di kediamannya yang berada tidak jauh di samping taman Junghuhn, Minggu (6/10/2013).
Didi menambahkan, dulu sempat ada satu orang warga Kampung Genteng yang diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) oleh Pemprov Jawa Barat hanya untuk merawat dan membersihkan tempat tersebut.
Namun, lima tahun ke belakang setelah yang bersangkutan meninggal, taman yang sebelumnya memang sudah agak rusak itu semakin tidak terurus. "Perjelas dulu statusnya agarkepengelolaannya juga jelas. Seharusnya taman ini diperbaiki agar bisa jadi tempat main sekaligus belajar sejarah," tuturnya.
Didi menambahkan, status pengelola taman Junghuhn semakin tidak jelas ketika terjadi pemekaran Kabupaten Bandung Barat dari Kabupaten Bandung pada tahun 2007 lalu. Saat BKSDA provinsi Jawa Barat seolah tidak peduli dengan kondisi taman, kedua Kabupaten ini tidak bisa berbuat banyak, lantaran belum adanya pelimpahan kuasa pengelolaan dari BKSDA "sang tuan rumah", Kabupaten Bandung Barat.
"Sebetulnya kalau mau solusinya sekeliling taman Junghuhn harus dibentengi dan dikasih jalan utama biar tidak ada yang berlalulalang melewati taman," ucapnya.
Harapan Didi pun diakuinya mewakili seluruh warga sekitar Kampung Genteng atau Kampung Junghuhn ini. Menurutnya, warga sangat berharap taman Junghuhn bisa kembali indah agar anak-anak kampung Junghuhn bisa bermain sambil belajar, seperti saat dirinya kecil dulu.
(Baca juga: Dia yang Pamit ke Gunung)
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR