Turis Prancis kadang menyebut Pecinan Lasem sebagai “Petit Chinois”. Saat ini julukan Lasem “Tiongkok Kecil” tampak menjadi padanan dari kata Petit Chinois. Ada pula yang menjulukinya sebagai “Beijing Kecil”.
Entah dari mana julukan ini muncul namun nyatanya ada pro dan kontra di kalangan warga Pecinan Lasem. Warga yang kurang setuju dengan julukan “Tiongkok Kecil” lebih suka menyebut kawasan itu dengan nama ‘Pecinan Lasem tempo dulu’.
Julukan Lasem Kota Pusaka tampaknya lekat dengan banyaknya kisah warisan sejarah masa lalu yang membingkai Lasem. Kawasan ini memiliki keanekaragaman budaya—Hindu, Buddha, Islam, Jawa. Sebutlah situs-situs purbakala di Lasem seperti situs Leran, situ Bonang, situ situs Binangun dan situs Majapahit di Kawasan Gunung Kajar. Tak ketinggalan pula Lasem pun ditengarai identik dengan warisan budaya Cina – Indis yang kental.
Lasem, kota kecil di wilayah Kabupaten Rembang ini berjarak 110 kilometer dari Semarang, atau 190 kilometer dari Surabaya. Waktu tempuhnya relatif panjang, 3 jam dari Semarang dan 5 jam dari Surabaya melalui jalan darat. Anda bisa memilih moda transportasi berupa bus umum atau minibus yang dioperasikan oleh perusahaan travel.
Begitu menjejak Lasem, saya menyaksikan aneka bangunan tua berarsitektur Indis dan Cina yang berdiri kokoh yang telah dilewati oleh bentang waktu yang terus bergerak. Beruntung beberapa bangunan masih dihuni oleh pemiliknya serta masih menggambarkan modernitas pada zamannya.
Namun sayang, bangunan-bangunan ini tampak kusam dan terngganggu oleh pencemaran udara, bising dan goncangan truk dan aneka kendaraan.
Mari lepaskan sejenak keramaian jalan raya Lasem. Saya memulai perjalanan Anda dari Klenteng Cu An Kiong, klenteng utama Lasem.
Klenteng Cu An Kiong atau Ci An Gong dikenal sebagai ‘Istana Kebajikan dan Kedamaian’ merupakan klenteng tertua di Lasem yang berada di Jalan Dasun. Bangunannya tampak megah dengan ragam hias ukiran dan lukisan. Halaman klenteng memiliki sebuah tiang semacam tiang dek kapal laut, penanda bahwa dewa utama klenteng tersebut adalah Dewi Laut, dewi yang bernama Ma Zu atau dikenal Mak Co dalam Bahasa Hokkian. Jika beruntung, kita dapat menyaksikan sembahyang Ce It Cap Go setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek. Kita pun dapat menyaksikan tradisi ritual lainnya seperti Sembahyang Imlek dan Sembahyang Arwah yang baru saja dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus 2015 yang lalu.
Bertetangga dengan Cu An Kiong, sebuah rumah kuna berdiri megah dengan kekunoan dan kesederhanaannya. Rumah itu dikenal dengan nama Lawang Ombo (Pintu Besar) atau rumah candu. Pemiliknya, Tjoo Boen Hong seorang penggiat klenteng Cu An Kiong yang merupakan cucu luar dari dari pemilik rumah Lawang Ombo. Di samping rumah ini terdapat makam pemilik rumah tersebut yaitu bernama Lin Cui Shun dengan nisannya yang berangka tahun 1855. Menarik, rumah ini memiliki banyak kisah misteri termasuk di dalamnya adalah kisah mengenai perdagangan candu yang marak pada abad ke-19. Rumah ini memiliki lubang tempat pengiriman candu secara rahasia yang terhubung dengan sebuah rumah keluarga Lim (marga Lin) yang kini telah menjadi kantor Polisi Sektor Lasem.
Rumah Tegel, terletak di Jalan Raya Lasem. Dahulu, selain menjadi rumah tinggal, rumah berarsitektur Indis ini juga memiliki bangunan pabrik tegel yang terkenal dengan nama Pabrik Tegel LZ milik seorang kapitan Lasem Lie Thiam Kie. Kita masih bisa menjumpai jejak tinggalan aneka tegel yang bercorak warna-warni tersimpan di selasar taman rumah itu. Sayang, pabriknya kini telah berhenti beroperasi karena minimnya pesanan tegel.
Rumah Opa Lo Geng Gwan terletak di kawasan Pecinan Karangturi tepatnya di jalan Gang 4, Karangturi. Saya menengok halaman belakang rumah yang pernah menjadi pabrik batik pada awal abad ke-20. Namun, pekarangan itu saat ini hanya meninggalkan sisa-sisa peralatan batik yang telah membisu dan berdebu.
Rumah ini milik keluarga Lo dan sampai saat ini ditinggali oleh Opa Lo Geng Gwan (86) bersama sepupunya—Oma Lim Luan Niang (86). Mereka ditemani oleh seorang asisten rumah tangga, Mbak Minuk (60), yang telah setia menemani keduanya sejak tahun 1977, mengerjakan tugas harian sekaligus melakukan sembahyang pawon (sembahyang untuk Dewa Dapur) setiap sore hari.
Di rumah Opa Lo, saya menikmati suasana rumah tua Cina Indis. Sembari mengobrol dengan Opa, saya merasakan nuansa tradisi Cina sekaligus modernitas yang muncul dalam seni bangunan dan foto-foto tua di rumah itu.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR