Kisah Muslim Di Amerika, Kerap Ditindas Tapi Semakin Berkembang

By Rahmad Azhar Hutomo, Minggu, 3 Maret 2019 | 10:00 WIB
Anak-anak di Los Angeles Selatan merayakan Idul Fitri, dengan piknik yang disponsori oleh Islah LA, sebuah lembaga komunitas Muslim Kulit Hitam. Dipimpin oleh Imam Jihad Saafir, lembaga ini mempromosikan komunitas, pendidikan, dan pemberdayaan sosial dan ekonomi. (Lynsey Addario)

Nationalgeographic.co.id - Meski sering disalahpahami dan difitnah, mereka semakin berkembang dan menjadi bagian dari keberagaman nasional yang indah.

Tak ada yang bisa dilakukan selain menyaksikan gedung berkubah tembaga di kota minyak Victoria di selatan Texas itu habis terbakar.

Musnah sudah masjid yang menjadi tempat perayaan kelulusan putri Abe Ajrami, bersama teman-teman SMA-nya, masjid yang dikunjunginya bersama keluarga setiap hari Jumat untuk salat dan bercengkerama.

Baca Juga : Serial Foto: Upacara Sunat dalam Tradisi Muslim Uzbekistan

“Saya berusaha menahan diri,” ujar Ajrami, orang Amerika keturunan Palestina yang segera berlari menuju masjid begitu mendapat telepon. Dia menceritakan kejadian itu di ruang tamu, sementara istrinya, Heidi, seorang mualaf asli Amerika, duduk di sebelah kanannya dan kedua putrinya duduk di sebelah kirinya, sedangkan putranya sedang tidur di lantai atas.

Airaj Jilani, pensiunan manajer proyek minyak dan gas bumi dari pinggiran Houston, berdandan ala Elvis Presley. Dia penggemar Elvis sejak masih kecil di Pakistan. “Saya penggemar Elvis. Kakak saya penggemar The Beatles,” ujarnya. Pada 1978, dia mengunjungi Graceland Mansion milik Presley di Memphis, Tennessee; tahun berikutnya dia pindah ke Texas. (Lynsey Addario)

Keluarga ini mengingatkan saya pada keluarga saya sendiri. Ayah saya, yang berasal dari Libanon, juga datang ke Amerika Serikat untuk mendapatkan pendidikan dan masa depan yang lebih baik, seperti halnya Ajrami. Ibu saya dulu menganut Unitarian Universalisme, seperti Heidi, bertemu dengan calon suaminya di kampus, kemudian menjadi mualaf. Orang tua saya membesarkan lima anak Muslim Amerika yang berkulit khas sawo matang.

Ajrami, yang lahir dari keluarga miskin di Jalur Gaza, bersekolah di sekolah keperawatan karena hanya sekolah itulah yang biayanya terjangkau. Pada 1994, seorang teman membantunya mendapatkan visa dan beasiswa di Omaha, Nebraska. Di sana dia berkenalan dengan Heidi, anak tentara kelahiran Texas. Mereka pindah ke Victoria ketika Heidi mendapat pekerjaan di sana sebagai dosen bahasa Inggris di kampus, sedangkan Ajrami menjadi direktur perawat di sebuah rumah sakit. Ajrami sekarang menjalankan usaha penyedia staf medis, dan keluarga itu tinggal di sebuah rumah besar, lengkap dengan kolam renang.

Jumana Mussa, Dana Mussa, Jana Hasan, dan Marya Tailakh, Pramuka dari Troop 3408 di Anaheim, California, menampilkan sandiwara anti-penindasan di sebuah perpustakaan umum. Menurut sebuah lembaga yang meneliti berbagai persoalan yang memengaruhi umat Islam, penindasan anak-anak Muslim di AS meningkat pesat yang umumnya disebabkan oleh kesalahpahaman budaya dan religi. (Lynsey Addario)

Pada malam ketika masjid itu dibakar, 28 Januari 2017, Ajrami hanya bisa menyaksikannya bersama sejumlah orang dari masyarakat minoritas Muslim ini. Hanya beberapa jam sebelumnya, Presiden Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif untuk melarang masuk orang-orang yang datang dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Kebakaran itu, yang diduga dilakukan seorang penyulut kebakaran yang telah didakwa dengan kejahatan kebencian, mengakibatkan beberapa bagian gedung masjid ini roboh. Ajrami memotret masjid itu dan mengunggahnya ke Internet. “Kami akan membangunnya kembali, dengan CINTA!” tulisnya dalam keterangan foto. Unggahan ini pun menjadi viral. Hanya dalam hitungan hari masjid itu mendapat donasi senilai 13 miliar rupiah. Kota Victoria pun bersatu untuk mendukung mereka. Bahkan, hingga kini mereka mendapat kiriman cek.

Ajrami dengan jelas melihat tugas yang dihadapinya. “Semula, saya tidak ingin cap itu, Muslim, menjadi satu-satunya identitas saya. Namun, karena kebakaran itu kami harus berada di garis depan,” ujarnya. Ajrami menyediakan waktu untuk media dan memberikan ceramah tentang agamanya.