Kisah Muslim Di Amerika, Kerap Ditindas Tapi Semakin Berkembang

By Rahmad Azhar Hutomo, Minggu, 3 Maret 2019 | 10:00 WIB
Anak-anak di Los Angeles Selatan merayakan Idul Fitri, dengan piknik yang disponsori oleh Islah LA, sebuah lembaga komunitas Muslim Kulit Hitam. Dipimpin oleh Imam Jihad Saafir, lembaga ini mempromosikan komunitas, pendidikan, dan pemberdayaan sosial dan ekonomi. (Lynsey Addario)

Saya berkenalan dengan Rami Nashashibi di South Side, Chicago, tempat beroperasinya Inner-City Muslim Action Network (IMAN) selama dua dekade. Dia menyeberang dari klinik dan perkantoran di satu sisi jalan ke restoran Meksiko di sisi lain yang diubah menjadi tempat salat, kafetaria, dan ruang kantor tambahan.

Aktivis komunitas Islam berusia 46 tahun ini mendirikan tempat itu untuk digunakan umat Islam melayani orang-orang yang kurang beruntung. Kini dia telah membangun koalisi umat Islam—kulit hitam, Asia Selatan, Arab, kulit putih, Latino—untuk menggunakan keyakinan Islam, dalam menangani masalah sosial yang menjangkiti masyarakat.

Orang tua Nashashibi adalah orang Arab yang tidak religius. Dia mendapatkan hidayah, seperti kebanyakan mualaf Amerika, melalui hip-hop dan pergerakan keadilan sosial.

Di Hamtramck, Michigan, anak-anak mendatangi sebuah truk es krim untuk membeli kudapan dingin. Di lingkungan ini sebagian besar anak memiliki orang tua yang berasal dari Yaman. Kota yang dikelilingi oleh Detroit ini (dengan populasi 21.750 jiwa), masyarakatnya didominasi oleh Muslim, dan Muslim menjadi mayoritas di dewan kota. (Lynsey Addario)

Sekarang Nashashibi dan stafnya di IMAN bekerja sama dengan para pemilik toko kecil di sudut jalan untuk membawa makanan segar dan lingkungan yang lebih ramah—seperti tidak memasang jeruji di jendela—ke daerah ‘kering makanan’ di lingkungan berpenghasilan rendah. Mereka melibatkan penduduk setempat dalam organisasi masyarakat, menyediakan layanan kesehatan gratis, dan menjalankan program pemasyarakatan untuk para mantan narapidana. Para narapidana ini keluar dari penjara dengan berbekal sedikit uang dan sering kali tidak mendapat dukungan dari keluarga.

Saya berkunjung di bulan Ramadan, waktu paling sibuk di IMAN. Untuk buka puasa kali ini, makan malam komunitas disajikan di lahan parkir di belakang klinik. Sejumlah penjual menjajakan jus dingin, pai kacang, dan perhiasan warna-warni. Para tamu berasal dari lingkungan sekitar: penggerak komunitas, politisi, pemim-pin agama, dan teman. Di latar belakang terpampang lukisan mural di gedung IMAN, yang menampilkan salah satu ayat Alquran. “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”

Nashashibi menyampaikan sambutannya. “Baik memberikan layanan kesehatan ataupun membangun rumah, kami paham bahwa Anda harus melakukannya dengan membangun kekuatan, menjalin hubungan, membina persekutuan,” ujarnya. “Anda akan terus melihat kami—seperti yang kita lihat, sejak pemilu ini—menggunakan tagar ‘Fight Fear, Build Power’ (Lawan Ketakutan, Bangun Kekuatan) sebagai tanggapan terbaik untuk situasi yang sedang kita hadapi.”

“Mana suaranya?” ujarnya kepada hadirin. “Fight fear!” serunya. Hadirin pun berteriak, “Build power!

Keesokan harinya, tim dari IMAN mendatangi sebuah toko kelontong, Morgan Mini Mart, untuk menghadiri acara yang disebut Refresh the ‘Hood. Di luar toko, pembawa acara menyanyikan lirik lagu Tupac, bernyanyi rap. “The sweeter the juice, the deeper the roots.” Kepada pejalan kaki, para relawan memberikan smoothies segar dan salsa mangga yang terbuat dari produk yang dijual di toko.

Sadia Nawab, 28 tahun, manajer bidang seni dan budaya untuk IMAN, duduk di trotoar di luar toko bersama dua orang remaja yang sedang melukis di atas media tempat sampah untuk memperindah toko.

Produser musik Amerika keturunan Iran yang dikenal dengan nama Metal Sanaz beristirahat di studionya di Los Angeles. Dia dibesarkan di keluarga yang tidak taat. Muslim, seperti penganut agama lainnya, ada yang sekuler dan ada yang taat. (Lynsey Addario)

Dia putri imigran Pakistan, dibesarkan di lingkungan imigran mayoritas Arab di pinggiran kota Chicago, dan bersekolah di sekolah yang mayoritas kulit putih. “Saya tahu saya Muslim,” ujarnya. “Saya hanya tidak tahu apa artinya itu. Dan orang mengotak-ngotakkan Anda: Arab, Muslim, imigran, tidak bisa bahasa Inggris. Saya tidak tahu harus bersikap bagaimana.”

Melalui IMAN, dia mulai mengetahui apa artinya menjadi Muslim. “Saya mengalami perubahan, melakukan tugas sangat berat menghadapi masyarakat di South Side, Chicago,” ujarnya. “Saya mampu berkembang, secara emosional dan mental. Saya baru berusia 17 tahun ketika mulai menjadi relawan, dan itu adalah usia yang berharga.” Katanya, dia butuh mentor yang memahami dirinya sebagai remaja Muslim Amerika. Itu yang ditemukannya di IMAN. “Di sini saya tidak selalu merasa seperti orang asing. Rasanya nyaman,” ujarnya.

Marya Ayloush tertawa saat mengawasi acara pemotretan busana di Los Angeles untuk perusahaan hijab daring miliknya, Austere Attire. Ayloush akan menggunakan foto-foto tersebut untuk memasarkan busana melalui media sosial dan laman webnya. Bisnis busana sederhana untuk wanita religius sedang menjamur di Amerika Serikat. (Lynsey Addario)

IMAN adalah cara untuk membuat Islam relevan bagi umat Islam Amerika, ujar Nashashibi, terutama bagi mereka yang sedang mencari tujuan dan hubungan dengan agama yang sering digambarkan sebagai ancaman asing. “Kami berusaha menjunjung tinggi warisan semangat Islam yang sarat perubahan, memberdayakan, dan mengilhami, yang tidak terus berusaha meminta maaf dan menjelaskan dirinya,” ujarnya.

Ini adalah penawar, ujarnya, untuk rasa apatis yang membuat orang menjauh dari agama atau untuk rasa rapuh, kehilangan hak, dan kegeraman yang membuat orang melakukan kekerasan, baik di South Side, Chicago atau di medan perang Suriah dan Irak. Dan AS, ujarnya, adalah tempat terbaik untuk menjadi Muslim saat ini. “Amerika selalu menyediakan, bahkan di waktu yang paling kelam sekalipun, ruang untuk ditaklukkan agar orang bisa mewujudkan cita-citanya yang belum tercapai.”

Penulis: Leila Fadel

Fotografer: Lynsey Addario