Pada pertemuan pertama tentang penggunaan lahan di hadapan komisi perencanaan wilayah pada 2012, Akhter dan anggota komunitas Muslim lainnya diteriaki dan disuruh pulang kembali ke negaranya masing-masing.
“Saya sudah tinggal di sini sejak 1990, dan saat itulah untuk pertama kalinya saya benar-benar memiliki perasaan takut,” ujar Akhter. “Saya dibesarkan di Fort Wayne, Indiana, yang dulu menjadi sarang kegiatan KKK, dan tidak pernah melihat hal semacam ini sebelum terjadinya peristiwa 11 September.”
Perebutan lahan masjid dan pemburukan citra Muslim menimbulkan efek negatif pada anak-anak Akhter yang dibesarkan di Amerika. Dia melihat mereka menjauhkan diri dari agama setelah ditindas di sekolah dan disebut teroris. Nudrat, istri Akhter, seorang agen realestat, sekarang takut untuk sendirian menunjukkan rumah yang dijualnya. “Ada kalanya saya merasa tidak aman; kadang dia menemani saya,” ujarnya, sambil menunjuk ke arah suaminya.
Nudrat khawatir orang mungkin akan bereaksi negatif melihatnya berkerudung. Ada beberapa insiden yang membuatnya syok. “Saat itu saya sedang di Costco, dan seorang wanita menghampiri saya, menyodorkan buklet kecil, dan berkata, ‘Anda mungkin akan senang membacanya,’” ujarnya. “Saya tak menyadari apa isi buklet itu, dan ketika membukanya, ternyata itu buku komik Muslim yang mengatakan, ‘Oh, kami akan membunuh semua orang.’ Itu ditujukan untuk mengolok-olok Muslim, dan saat itu saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Kejadian itu tak terduga.”
Penghinaan itu telah memicu kemarahan, ujar Akhter, tetapi juga membuat umat Islam di sini lebih tegas dalam membela agamanya dan hak-haknya. “Ini rumah kami,” ujar Akhter. “Jika ada orang datang dan mengusir Anda dari rumah—apakah Anda akan menyerah? Itu pemikiran yang paling tidak masuk akal.”
Terlepas dari masalah yang dihadapi, Bakri Musa, seorang ahli bedah Amerika keturunan Malaysia di komunitas ini, mengatakan dia lebih senang menghadapi tuntutan hukum daripada jenis tuntutan lain. “Saya lebih senang bila mereka menuntut kami daripada membakar masjid. Tantangan ini lebih terukur,” ujarnya.
Itu yang Musa sukai tentang menjadi Muslim di Amerika: hak berekspresi dan beribadah dilindungi. Dia menunjuk ke beberapa rak di rumahnya yang sederhana. Rak itu dipenuhi beragam buku karya ulama Sunni dan Syiah.
“Inilah tempat yang tepat untuk menjadi Muslim, keilmuan tanpa intervensi,” ujarnya. “Di Malaysia, saya bisa dipenjara karena memiliki karya tulis Syiah di rumah saya.”
Keesokan hari setelah kami berbicara, masjid menyewakan aulanya untuk penyelenggaraan makan malam lintas agama dengan pemimpin Yahudi dan Kristen, serta tamu lainnya. Musa dan istrinya, Karen, seorang Amerika asal Kanada, duduk di samping pasangan Yahudi, menjelaskan hidangan Asia Selatan. Kini, kegiatan semacam ini semakin sering dilakukan—kerja sama lintas agama, pelayanan masyarakat. Tidak peduli betapa lantangnya suara para penentang, mereka mengatakan bahwa mereka diterima di masyarakat dan berharap segera memiliki masjid sendiri.
Banyak generasi muda Muslim Amerika yang merasa lelah harus terus menjelaskan tentang diri mereka atau berbicara atas nama umat Islam. Mereka mencari tempat tinggal yang menggabungkan keyakinan mereka dan kepekaan Amerika.