Kisah Muslim Di Amerika, Kerap Ditindas Tapi Semakin Berkembang

By Rahmad Azhar Hutomo, Minggu, 3 Maret 2019 | 10:00 WIB
Anak-anak di Los Angeles Selatan merayakan Idul Fitri, dengan piknik yang disponsori oleh Islah LA, sebuah lembaga komunitas Muslim Kulit Hitam. Dipimpin oleh Imam Jihad Saafir, lembaga ini mempromosikan komunitas, pendidikan, dan pemberdayaan sosial dan ekonomi. (Lynsey Addario)

Pada pertemuan pertama tentang penggunaan lahan di hadapan komisi perencanaan wilayah pada 2012, Akhter dan anggota komunitas Muslim lainnya diteriaki dan disuruh pulang kembali ke negaranya masing-masing.

Setiap pagi Abdelrahman Abdelaziz (kiri) menyapa tetangganya di kantor pemadam kebakaran Squad 18 di West Village, New York City. Orang Amerika keturunan Palestina ini, letnan di kesatuannya, memandang dirinya semacam duta untuk agamanya. “Saya ingin menunjukkan bahwa tidak semua Muslim itu teroris,” ujarnya. “Kami anggota masyarakat yang produktif.” (Lynsey Addario)

“Saya sudah tinggal di sini sejak 1990, dan saat itulah untuk pertama kalinya saya benar-benar memiliki perasaan takut,” ujar Akhter. “Saya dibesarkan di Fort Wayne, Indiana, yang dulu menjadi sarang kegiatan KKK, dan tidak pernah melihat hal semacam ini sebelum terjadinya peristiwa 11 September.”

Perebutan lahan masjid dan pemburukan citra Muslim menimbulkan efek negatif pada anak-anak Akhter yang dibesarkan di Amerika. Dia melihat mereka menjauhkan diri dari agama setelah ditindas di sekolah dan disebut teroris. Nudrat, istri Akhter, seorang agen realestat, sekarang takut untuk sendirian menunjukkan rumah yang dijualnya. “Ada kalanya saya merasa tidak aman; kadang dia menemani saya,” ujarnya, sambil menunjuk ke arah suaminya.

Nudrat khawatir orang mungkin akan bereaksi negatif melihatnya berkerudung. Ada beberapa insiden yang membuatnya syok. “Saat itu saya sedang di Costco, dan seorang wanita menghampiri saya, menyodorkan buklet kecil, dan berkata, ‘Anda mungkin akan senang membacanya,’” ujarnya. “Saya tak menyadari apa isi buklet itu, dan ketika membukanya, ternyata itu buku komik Muslim yang mengatakan, ‘Oh, kami akan membunuh semua orang.’ Itu ditujukan untuk mengolok-olok Muslim, dan saat itu saya tak tahu apa yang harus dilakukan. Kejadian itu tak terduga.”

Penghinaan itu telah memicu kemarahan, ujar Akhter, tetapi juga membuat umat Islam di sini lebih tegas dalam membela agamanya dan hak-haknya. “Ini rumah kami,” ujar Akhter. “Jika ada orang datang dan mengusir Anda dari rumah—apakah Anda akan menyerah? Itu pemikiran yang paling tidak masuk akal.”

Terlepas dari masalah yang dihadapi, Bakri Musa, seorang ahli bedah Amerika keturunan Malaysia di komunitas ini, mengatakan dia lebih senang menghadapi tuntutan hukum daripada jenis tuntutan lain. “Saya lebih senang bila mereka menuntut kami daripada membakar masjid. Tantangan ini lebih terukur,” ujarnya.

Sekitar 20.000 Muslim mengikuti salat id tahun lalu di Angel Stadium di Anaheim, California, untuk merayakan Idul Fitri. Umat Islam biasanya memakai pakaian terbagus pada hari raya ini. Salat ini menandai awal dari perayaan dan jamuan tiga hari. Di AS, hari raya ini tidak diakui oleh banyak perusahaan dan sekolah, jadi kebanyakan Muslim harus mengambil cuti untuk merayakannya. (Lynsey Addario)

Itu yang Musa sukai tentang menjadi Muslim di Amerika: hak berekspresi dan beribadah dilindungi. Dia menunjuk ke beberapa rak di rumahnya yang sederhana. Rak itu dipenuhi beragam buku karya ulama Sunni dan Syiah.

“Inilah tempat yang tepat untuk menjadi Muslim, keilmuan tanpa intervensi,” ujarnya. “Di Malaysia, saya bisa dipenjara karena memiliki karya tulis Syiah di rumah saya.”

Keesokan hari setelah kami berbicara, masjid menyewakan aulanya untuk penyelenggaraan makan malam lintas agama dengan pemimpin Yahudi dan Kristen, serta tamu lainnya. Musa dan istrinya, Karen, seorang Amerika asal Kanada, duduk di samping pasangan Yahudi, menjelaskan hidangan Asia Selatan. Kini, kegiatan semacam ini semakin sering dilakukan—kerja sama lintas agama, pelayanan masyarakat. Tidak peduli betapa lantangnya suara para penentang, mereka mengatakan bahwa mereka diterima di masyarakat dan berharap segera memiliki masjid sendiri.

Banyak generasi muda Muslim Amerika yang merasa lelah harus terus menjelaskan tentang diri mereka atau berbicara atas nama umat Islam. Mereka mencari tempat tinggal yang menggabungkan keyakinan mereka dan kepekaan Amerika.