Kisah Muslim Di Amerika, Kerap Ditindas Tapi Semakin Berkembang

By Rahmad Azhar Hutomo, Minggu, 3 Maret 2019 | 10:00 WIB
Anak-anak di Los Angeles Selatan merayakan Idul Fitri, dengan piknik yang disponsori oleh Islah LA, sebuah lembaga komunitas Muslim Kulit Hitam. Dipimpin oleh Imam Jihad Saafir, lembaga ini mempromosikan komunitas, pendidikan, dan pemberdayaan sosial dan ekonomi. (Lynsey Addario)

Bagi Muslim kelahiran Amerika, ada kalanya masjid bisa terasa seperti tempat asing, dengan kerumunan imigran dari berbagai negara. “Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang sepenuhnya menerima sehingga orang bisa datang kapan saja,” ujar Canon, “dan dengan keinginannya sendiri.” 

Orang-orang Muslim pertama dibawa ke Amerika sebagai budak pada abad ke-16, yang kebanyakan dari Afrika Barat. Di Dunia Baru, menurut para cendekiawan, 10 sampai 20 persen budak adalah Muslim. Karena dilarang melakukan ibadah agamanya, mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi, sehingga pelan-pelan Islam pun lenyap bersama keluarga yang membawanya ke Amerika.

Namun, unsur Islam dibangkitkan kembali di komunitas Amerika keturunan Afrika melalui gerakan nasional kulit hitam dan pergerakan hak-hak sipil sebagai alat pemberdayaan, yang dipandang sebagai reklamasi budaya yang pernah dirampas dari masyarakat. Kebangkitan ini dimulai dengan pergerakan seperti Nation of Islam. Namun, kini mayoritas melakukan bentuk yang lebih lazim dalam beragama.

Gelombang pertama imigran Muslim dalam sejarah modern dimulai pada akhir 1800-an; kebanyakan berasal dari daerah Levant, mencari peluang ekonomi dan umumnya menetap di wilayah Barat Tengah. Namun, semua pintu tertutup bagi Muslim pada 1924, melalui undang-undang keimigrasian yang melarang imigran dari Asia. Pada 1965, gelombang berikutnya dimulai, ketika undang-undang baru membuka kembali AS untuk didatangi warga dunia. Kelompok imigran Muslim terbesar berasal dari Asia Selatan. Sekarang terdapat lebih dari 2.100 masjid di seluruh AS.

Namun, bagi sebagian orang, memiliki masjid sendiri masih merupakan angan-angan, seperti keluarga Muslim di pedesaan Santa Clara County, selatan San Jose, California.

Sekelompok pemuda Amerika keturunan Afganistan menikmati malam di Big Al’s Pizzeria di Maywood, California, yang menyajikan hidangan khusus dengan taburan daging sapi dan ayam halal. Kelompok ini—ada yang sudah berteman, dan ada yang baru pertama kali bertemu—datang ke Los Angeles untuk merayakan Nowruz, Tahun Baru Persia, yang jatuh pada ekuinoks musim semi. (Lynsey Addario)

Lumbung di pertanian Mohammed Idris Hussain di San Martin—yang menjadi tempat tinggal veteran Perang Vietnam asal Fiji-Amerika ini bersama keluarganya sejak 1980-an—tidak lagi digunakan untuk mengandangi domba. Lumbung itu digunakan Komunitas Islam South Valley yang beretnis campuran untuk beribadah.

Pada awalnya, ini dimaksudkan sebagai solusi sementara, Komunitas ini mengumpulkan uang, membeli sepetak lahan, dan menyusun rencana untuk mendirikan Cordoba Center. Lebih dari satu dekade setelah langkah pertama itu, komunitas ini kini berjumlah sekitar seratus keluarga, dan mereka masih tetap menggunakan lumbung Hussain untuk beribadah.

Komunitas ini telah menghabiskan sekitar 41 miliar rupiah dalam usahanya untuk membangun masjid ini, tetapi pusat dakwah Islam ini masih sekadar cetak biru di dapur Sohail Akhter. Orang Amerika keturunan Pakistan ini adalah pimpinan proyeknya. “Menebar ketakutan adalah senjata terhebat yang mereka gunakan untuk melawan kami karena jumlah kami hanya sedikit,” ujarnya, sambil menjelaskan bahwa pihak penentang menuduh mereka sedang berusaha membangun pusat pelatihan teroris. “Tidak banyak orang di sini yang pernah berjumpa dengan seorang Muslim. Mereka menghubungkan kami semua dengan terorisme. Mereka ketakutan.”

Penentang utama mereka adalah Gilroy-Morgan Hill Patriots dan People’s Coalition for Government Accountability. Patriot mengunggah retorika anti-Muslim di Facebook dan mensponsori pembicara anti-Muslim di perpustakaan.

Pemimpin Patriot mengatakan bahwa perlawanannya bukan tentang Islam tetapi tentang lingkungan. “Pada dasarnya orang-orang ini datang dan mengintimidasi masyarakat,” ujar Georgine Scott-Codiga. “Mereka mendominasi lalu-lintas, mobil, menimbulkan kebisingan. Kami sebenarnya hanya ingin melindungi kawasan itu.” Namun, tambahnya, dia dapat memahami orang-orang yang khawatir bahwa orang Muslim akan mengubah “jalan hidup” mereka.

Advokat hak-hak sipil mengatakan bahwa penggunaan masalah lingkungan merupakan taktik yang biasa digunakan oleh kelompok anti-Muslim untuk menghalangi pembangunan masjid dan pekuburan Muslim. Argumen serupa telah digunakan untuk menghalangi, atau mencoba menghalangi, berbagai proyek yang diselenggarakan di Georgia, Massachusetts, Minnesota, Tennessee, dan Texas.