Pemindahan Ibu Kota Negara Disepakati, Akan Seperti Apa Nasib Hutan Kalimantan Calon Pengganti Ibu Kota Baru?

By Mahmud Zulfikar, Rabu, 28 Agustus 2019 | 07:44 WIB
Presiden Joko Widodo meninjau kawasan Bukit Soeharto di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim, yang menjadi salah satu lokasi calon Ibu Kota baru, Selasa (7/5/2019). ((Biro pers setpres))

Nationalgeographic.co.id – Pemindahan ibu kota sudah disepakati. Presiden Joko Widodo sudah resmi mengumungkan lokasi pengganti Ibu Kota Jakarta dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019).

Lokasi itu ada di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara. Tepatnya di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara.

Dua kecamatan yang berada di dua kabupaten di Kalimantan Timur direncanakan menjadi pusat pemerintahan baru pada tahun 2024.

Dengan luas sekitar 180.000 hektar atau kira-kira setara dengan tiga kali luas Jakarta saat ini.

Kawasan tersebut adalah kawasan ekosistem hutan. Dan kita semua tahu Kalimantan adalah penyumbang oksigen dunia atau “paru-paru Indonesia”, lantas bagaiamana ekosistem hutan jika kemudian dialihfungsikan menjadi ibu kota?

Baca Juga: Mengkhawatirkan, Area Hutan Amazon yang Terbakar 28 Kali Luas Jakarta

Hal ini tidak bisa dinafikan, ekosistem hutan pasti akan terganggu, hanya saja kita perlu tahu apa langkah pemerintah dalam mengatasi hal ini.

Mengingat lahan tersebut terdapat tiga jenis hutan. Hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi.

Menurut Putri Hana Syafitri, penulis studi lingkungan di Kompasiana, Hutan Konservasi mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman, tumbuhan, dan satwa serta ekosistemnya.

Kemudian Hutan Lindung adalah kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Ibu kota pindah ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. (kompas.com)

Dan yang ketiga, hutan produksi yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor mengatakan pembangunan ibu kota hanya akan dibangun pada bagian hutan produksi.

Baca Juga: Indonesia Darurat Kekeringan, Daerah Timur Indonesia Justru Hujan Turun Melanda. Begini Jawaban BMKG...

Menteri PUPR, Bambang Brodjonegoro juga mengatakan hutan lindung tidak akan diganggu. Lahan yang akan digunakan hanyalah hutan produksi.

Meski begitu, melansir dari BBC Indonesia, juru kampanye senior Greenpeace, Jasmine Puteri, tetap khawatir dampak lingkungan yang ditimbulkan mengingat kebutuhan lahan proyek ini sangat mungkin meningkat.

Kekhawatiran ini bisa kita refleksikan dengan kondisi Jakarta di mana tata ruang pembangunanya melebihi dari apa yang disebut layak.

Sehingga ini menimbulkan kekhawatiran pembangunan ibu kota akan mengganggu ekosistem hutan dan jadi beban lingkungan.

Kemudian Paulus Yhance Danarto, Dosen Sosial Pembangunan FISIP Universitas Palangkaraya mengatakan kepada Mongabay.co.id berpesan, “Jangan sampai pemindahan ibu kota negara menambah beban lingkungan, pada gilirannya memperparah kerusakan lingkungan,” jelasnya.

Paulus memaparkan, evaluasi kondisi lingkungan harus dilakukan menyeluruh. Atas dasar kepentingan negara dan rakyat, bukan keuntungan bisnis yang rawan manipulasi.

Baca Juga: Gambar dari Luar Angkasa Ini Tunjukkan Seberapa Parah Kebakaran Hutan Amazon

Evaluasi difokuskan pada kelestarian hutan, aktivitas tambang dan perkebunan, serta daerah aliran sungai [DAS] besar.

Desain Ibu kota Baru (The Indonesian Institute)

Berdasarkan data yang didapat dari Greenpeace, tahun 2015 sampai 2018, terdapat lebih dari 3.487 titik panas di Kutai Kertanegara dan daerah bekas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seluas lebih dari 35.000 hektar. Tahun ini, jumlah titik panas itu mencapai 105 titik.

Bila pengkajian pemindahan ibu kota baru tidak teliti dan hati-hati dalam memperhatikan ekosistem hutan, tidak menutup kemungkinan kerusakan hutan akan bertambah dan lebih buruknya berulang.

"Takutnya perencanaan tata ruang ini, walau dibilang di hutan produksi, ketika dia nanti melebar dan meluas, kita tidak bisa memastikan bahwa ada jaminan (pembangunan) akan dilakukan di area yang telah didesignasi," ujar Jasmine lagi, melansir dari BBC Indonesia.