Kabut Asap Makin Parah Kepung Riau, Warga yang Makin Khawatir Hingga Aktivis Ingatkan Jokowi untuk Turun Lapangan

By Bayu Dwi Mardana Kusuma, Sabtu, 14 September 2019 | 15:36 WIB
Kabut asap karhutla sangat pekat di jalan lintas Riau-Sumatera Barat di perbatasan Pekanbaru dengan Kabupaten Kampar, Riau, Kamis (12/9/2019). (KOMPAS.COM/IDON TANJUNG)

Nationalgeographic.co.id - Tidak ada yang lebih menggembirakan bagi Arif Rahman Hakim, seorang kepala cabang perusahaan farmasi dan konsumer, selain angka penjualan yang naik. Kantor yang dipimpinnya di Pekanbaru, Riau, mencatat permintaan berlipat ganda untuk sejumlah produk yang mereka sediakan.

“Ini yang pasti konsumsi yang fast moving, pertama adalah masker. Masker sold out. Tingkat penjualannya sangat tinggi. Setelah masker, meningkat lagi obat tetes mata. Meningkat lagi, kita punya vitamin, Ester C. Mereka yang di daerah terdampak langsung, mereka persiapan untuk kondisi tubuh jangan sampai drop. Tiga itu yang dapat berkah, terlepas dari kondisi seperti ini. Beratus-ratus persen, berlipat-lipat penjualannya,” kata Arif kepada VOA.

Namun kali ini, kenaikan itu tidak sepenuhnya berbalut kebahagiaan. Bagaimana bisa demikian? Penjualan itu naik karena Pekanbaru tengah dikepung asap pekat dalam beberapa pekan terakhir.

Baca Juga: Mengapa Memadamkan Kebakaran Hutan di Indonesia Sangat Sulit?

Asap mengepung di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Kota Pekanbaru, Riau, Jumat (13/9/2019). (KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA)

Kenaikan penjualan berlipat itu tidak sepenuhnya membahagiakan, karena seperti juga jutaan warga Riau lain, keluarga Arif juga terdampak kabut asap. Sejak Senin (9/9), anak-anaknya diliburkan dari sekolah. Mereka juga tidak dapat beraktivitas di luar ruang sepanjang hari dan harus memakai masker. Pada Kamis (12/9) malam, kata Arif, asap bahkan sudah masuk ke dalam rumah. Mereka harus menyiapkan satu ruang khusus yang tertutup rapat dan dilengkapi penyejuk udara (AC). Kipas angin juga dihidupkan terus untuk mendorong asap keluar rumah.

Kabut asap akibat pembakaran lahan di sebagian wilayah Sumatera semakin parah dalam beberapa hari terakhir. Sekolah diliburkan dan aktivitas masyarakat terhambat. Sayangnya, berbagai kalangan berpendapat bahwa tidak semua pejabat peka dengan kondisi tersebut.

Baca Juga: Bersiaplah, Bumi yang Makin Panas Bikin Tanah Kehilangan Kemampuan untuk Menyerap Air

Presiden Joko Widodo berada di tengah area hutan gambut yang rusak dan hangus saat melakukan inspeksi kebakaran hutan di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. (AFP PHOTO / ROMEO GACAD via KOMPAS.COM)

Status Darurat dan Evakuasi

Arif berharap pemerintah segera mengambil tindakan untuk mengatasi asap ini. Tahun lalu, ujarnya, bencana asap kebakaran lahan tidak terjadi di Riau. Karena itu, cukup mengherankan jika tahun ini provinsi itu kembali dikepung asap.

“Sempat ada obrolan soal pindah sementara, tapi ya gimana, kita disini kan kerja. Kalau nggak kerja, tentu saja sudah pergi. Sementara ini kita bisanya sabar saja. Saya nggak peduli mau pemerintah daerah atau pusat yang mengatasi, yang penting asap secepatnya bisa dibersihkan,” tambah Arif.

Keresahan Arif dan jutaan warga Riau serta provinsi sekitarnya sangat beralasan. Indeks Pencemaran Udara telah mencapai angka 400 di Riau, yang artinya kualitas udara sangat berbahaya. Karena itulah, Made Ali, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) mendesak pemerintah menetapkan status darurat bencana.

Baca Juga: Kebakaran Hutan dan Lahan, Harimau Sumatera Cemaskan Warga Sekitar Belantara

Kabut asap makin pekat di Pekanbaru, Riau, dengan jarang pandang sekitar 300 meter, Jumat (13/9/2019). (KOMPAS.COM/IDON)

“Kalau sudah darurat bencana, mengevakuasi warga, dan kedua membangun posko-posko untuk warga bisa mendapat masker dan oksigen. Terutama untuk anak-anak, balita, ibu hamil dan orang- orang yang berpenyakit khusus terkait dengan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (Ispa),” kata Ali.

Yang mengherankan, kata Ali, pemerintah sendiri melalui BMKG telah memberikan peringatan bahwa musim kemarau tahun ini akan panjang seperti 2015. Mengingat bencana asap ketika itu yang sangat parah, seharusnya telah disiapkan upaya antisipasi. Namun langkah semacam itu tidak terlihat, baik di daerah maupun pusat. Menurut Ali, pemerintah seolah tidak belajar dari pengalaman.

Baca Juga: Kebakaran Hutan dan Lahan Terus Berulang dari Tahun ke Tahun, Apa Penyebabnya? Alam ataukah Manusia?

Walhi Ingatkan Keberhasilan Sungai Tohor

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Riko Kurniawan meminta Presiden Jokowi memberikan perhatian yang sama dengan bencana asap pada awal dia menjabat. Ketika itu, Presiden turun langsung ke daerah-daerah yang terbakar. Di Sungai Tohor, Meranti, -presiden kemudian memulai proyek restorasi lahan gambut. Dia melepas izin pengelolaan lahan, memberikannya kepada rakyat untuk dikelola sebagai kebun sagu.

Baca Juga: Hutan Amazon Terbakar, Asap Hitam Terlihat dari Luar Angkasa

“Oleh masyarakat dikelola gambutnya itu, beradaptasi dengan lahan basah, tanaman sagu. Sampai saat ini desanya aman dari api, padahal Riau kering terus. Air juga banyak tersedia. Jikapun restorasi itu bisa dilakukan dalam satu tahun, minimal ketika kebakaran terjadi, ada air untuk petugas di lapangan. Kalau sekarang, kan tidak ada air,” kata Riko.

Kabut Asap di Pekanbaru, Riau (dok. Kompas.com/Rony Muharrman)

Riko menyayangkan, upaya presiden itu tidak berlanjut dan dipraktikkan di kawasan lain. Keberhasilan Sungai Tohor juga tidak menarik minat pemerintah daerah. Karena itulah, Riko mendesak Presiden Jokowi kembali turun tangan langsung mengatasi bencana ini, karena cakupan bencana yang sangat luas. Kepekatan asap di Riau misalnya, sebagian juga merupakan kiriman dari Jambi. Karena itu, upaya untuk mengatasinya harus dikoordinasikan oleh pemerintah pusat.