Nationalgeographic.co.id - Sebuah panel para ilmuwan untuk perubahan iklim, atau lebih sering dikenal sebagai IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), sudah mengeluarkan laporan mereka terkait dengan dampak perubahan iklim terhadap kelautan dan kriosfer (bagian permukaan Bumi yang mengandung air dalam bentuk padat, seperti es di danau, laut, dan sungai).
Berdasarkan lebih dari 7.000 artikel penelitian yang sudah melalui peer-review, laporan ini merupakan penjelasan singkat tentang bagaimana kegiatan manusia berpengaruh terhadap iklim dan memberikan dampak terhadap es dan lautan kita. Lebih lanjut, laporan ini juga memaparkan konsekuensinya bagi manusia dan Bumi.
Singkatnya, ini berita buruk.
Kriosfer dalam bahaya
Tidak semua orang mengetahui tentang kriosfer, namun perannya sangatlah krusial bagi sistem iklim Bumi.
Kriosfer adalah istilah untuk area yang membeku di planet Bumi, misalnya lapisan es di Greenland dan Antartika, gunung es yang berada di lautan, gletser es di pegunungan, salju, es di danau dan lautan di kutub, serta daratan membeku yang ditemukan di lanskap Artik yang disebut sebagai permafrost.
Baca Juga: Lima Mitos Perubahan Iklim dan Bantahannya Dilihat dari Sains
Kriosfer semakin mengecil. Lapisan salju berkurang, gletser dan lapisan es mencair dan permafrost juga berkurang. Kami sudah mengetahui kejadian ini sepanjang 25 tahun saya meneliti, namun laporan IPCC memperlihatkan bahwa ada percepatan pelelehan, dengan potensi berbahaya bagi manusia, ekosistem laut dan pengunungan tinggi.
Saat ini, kita masih rentan kehilangan lebih dari setengah perfarmost pada akhir abad ini.
Ribuan jalan dan bangunan yang berada di daratan beku tersebut serta pondasi yang menahan infrastruktur perlahan berubah menjadi lumpur.
Permafrost mampu menyimpan karbon yang berada di atmosfer hampir dua kali lebih banyak. Meski menanam tumbuhan akan mampu menyerap pelepasan karbon akibat pembukaan lahan, tetap banyak yang akan terlepas di atmosfer dan mempercepat pemanasan global.
Es lautan berkurang secara cepat, dan Samudra Artik tanpa es akan menjadi pemandangan biasa saat musim panas. Masyarakat adat yang tinggal di daerah Artik juga sudah mulai mengubah cara mereka berburu dan bepergian; beberapa komunitas di pesisir sudah memikirkan rencana relokasi.
Populasi anjing laut, walrus, dan beruang kutub, paus, dan mamalia lainnya, serta burung laut yang bergantung kepada es kemungkinan akan menurun drastis apabila sudah tidak ada es lagi.
Lebih lanjut, air yang jernih dan bening akan lebih efektif memantulkan panas dari Matahari. Berkurangnya air akan mempercepat pemanasan global.
Gletser juga meleleh. Jika emisi tetap berlanjut dengan kondisi saat ini, maka lebih dari 80% gletser kecil akan menghilang pada akhir abad ini. Hal ini akan memberikan dampak bagi ratusan juta orang yang bergantung kepada gletser untuk air, pertanian, dan energi. Longsor salju yang berbahaya, jatuhan batuan dan banjir akan lebih sering terjadi di daerah pegunungan.
Kenaikan muka air laut akan menambah masalah
Jika seluruh es meleleh berarti muka air laut juga meningkat. Muka air laut, secara global, naik setinggi 15 centimeter (cm) pada abad 20; kini mereka bertambah dua kali lipat lebih cepat, dan terus meningkat secara pesat.
Lewat penelitian saya dan rekan peneliti lainnya, kita bisa memahami lebih baik bagaimana lapisan es Antartika dan Greenland berinteraksi dengan lautan.
Hasilnya, laporan terakhir juga memasukkan estimasi tentang seberapa tinggi kenaikan muka air laut bisa meningkat. Meski masih belum pasti, tapi kami memprediksi sekitar mencapai tinggi antara 60 dan 110 cm pada tahun 2100.
Tentu saja, muka air laut tidak statis. Intensitas curah hujan dan siklon, – yang dipengaruhi oleh iklim –, dapat meninggikan air hingga beberapa meter dari level normal.
Laporan IPCC sudah jelas : badai ekstrim yang biasanya hanya terjadi satu kali per abad kini akan sering terjadi setiap tahun pada pertengahan abad. Selain menurunkan emisi, kita juga sudah harus mengeluarkan biaya untuk perlindungan pantai dan daerah landai dari banjir dan korban jiwa.
Ekosistem laut
Hingga kini, laut bisa menyerap lebih dari 90% kelebihan panas di sistem iklim global. Pemanasan yang terjadi saat ini sudah mengurangi percampuran antara lapisan air. Konsekuensinya, pasokan oksigen dan nutrien bagi kehidupan laut berkurang.
Laut harus menyerap panas lima dan tujuh kali lebih besar ketimbang 50 tahun belakangan pada tahun 2100 apabila manusia tidak mengubah keluaran emisi.
Gelombang panas laut juga diprediksi akan lebih intens, lebih lama dan terjadi 50 kali lebih cepat dari biasanya. Tidak hanya itu, lautan akan lebih asam akibat terus menerus harus menyerap kelebihan karbon dioksida yang dikeluarkan oleh manusia.
Secara keseluruhan, tekanan-tekanan tersebut mengancam keberadaan kehidupan laut secara global.
Beberapa spesies mungkin harus berpindah ke lautan yang baru, namun yang lain mungkin tidak bisa beradaptasi dan akhirnya bisa punah.
Komunitas manusia juga akan menghadapi banyak masalah, terutama yang bergantung kepada makanan laut. Terumbu karang, ekosistem yang menyokong kehidupan bagi ribuan spesies, pada akhirnya akan punah setidaknya pada akhir abad ini.
Masa depan lautan dan manusia
Meskipun dokumen IPCC tentang lautan dan kriosfer mengeluarkan pernyataan yang mencengangkan, namun kesimpulan yang ditawarkan sebenarnya sangat konservatif. Hal ini mungkin karena harus disetujui oleh 195 negara yang meratifikasi laporan IPCC.
Saat ini, saya menyadari bahwa kenaikan muka air laut dan melelehnya es akan jauh lebih cepat ketimbang yang diprediksikan oleh laporan tersebut. Sepuluh tahun lalu, saya akan berkata sebaliknya.
Namun, penelitian terbaru memperlihatkan gambaran darurat tentang masa depan laut dan kriosfer – terutama apabila kita tidak banyak berbuat apa-apa.
Baca Juga: Inilah Hal-hal yang Bisa Kita Lakukan untuk Menyelamatkan Bumi
Perbedaan antara suhu 1,5°C dan 2°C sangatlah penting bagi keberadaan kutub-kutub es, yang akan mengalami pemanasan lebih cepat dibanding rata-rata global.
Untuk suhu pemanasan 1,5°C, maka kemungkinan tidak ada es pada bulan September di Samudra Artik adalah 1 banding 100. Namun, pada suhu 2°C, kejadian hilangnya es bisa terjadi satu banding tiga.
Kenaikan muka air laut, pemanasan laut dan asidifikasi, melelehnya gletser dan permaforst juga akan lebih sering terjadi dengan cepat. Hal ini juga berisiko terhadap manusia dan Bumi. Keputusannya ada di tangan manusia dan pemimpin yang kita pilih untuk bisa mengatasi krisis iklim dan kerusakan ekologi ini.
Fidelis Eka Satriastanti menerjemahkan ini dari bahasa Inggris.
Penulis: Mark Brandon, Professor of Polar Oceanography, The Open University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.