"Dan pernah kau lihat bintangbersinar putih penuh harapan?Tangan halusnya terbukacoba temani dekati akuselalu terangi gelap malamku".
Nationalgeographic.co.id - Kutipan di atas adalah penggalan lirik Aku dan Bintang, lagu dari Peterpan yang rilis pada 2003. Dari liriknya, kita bisa pahami bahwa bintang yang bersinar terang di malam hari memiliki harapan bagi yang melihatnya.
Perihal bintang yang memiliki harapan akan masa mendatang sudah lama jauh dikenal oleh manusia. Manusia melihat bintang sebagai penunjuk jalan, kemunculannya pun bisa diprediksi dan mulai menamainya, bahkan diurutkan lewat rasi dengan berbagai rupa seperti hewan hingga manusia.
Perlahan, mereka mulai mengamati bagaimana benda benderang di angkasa itu bisa mempengaruhi kehidupan kita, dalam astrologi. Perhitungan ini terasa logis karena berdampak pada musim, pasang-surut laut, dan unsur kehidupan lainnya.
Peradaban Mesopotamia, atau Irak kuno, adalah yang pertama kali memperkenalkan astrologi pada 3000 SM. Mereka mencatat dan mengidentifikasi konstelasi dan pola yang menonjol pada bintang.
Sedangkan di Timur, dunia astrologi Tionghoa juga muncul sejak era Dinasti Shang (1600 SM-1046 SM) lewat 12 Shio. Keduabelas Shio ini berlangsung dalam satu siklus yang membutuhkan waktu 60 tahun.
Shio Tionghoa masih digunakan sampai saat ini, bahkan popularitasnya berdampak pada angka kelahiran. Misalnya, tahun 2010 atau tahun harimau merupakan tahun yang buruk untuk melahirkan.
Akibatnya, berdasarkan data statistik pemerintah Taiwan, angka kelahiran menjadi menurun dari tahun lainnya.
Kemudian pada akhir abad ke-5 SM, para astronom Babilonia mengembangkan astrologi Mesopotamia menjadi 12 zodiak. Zodiak ini berurut dalam kalender bulanan dengan durasi 30 hari.
Mereka membuat konstelasi berdasarkan posisi matahari berada saat seseorang lahir, atau disebut sun sign.
Baca Juga: Dahulu Dianggap Buruk, Bagaimana Festival Peh Cun Dirayakan Meriah?
Melalui pencatatan, bertambah pula unsur berdasarkan moon sign (posisi bulan), dan waktu—saat matahari sedang terbit atau tenggelam saat seseorang lahir. Diagram 12 zodiak itu berdasarakan area-area yang berbeda, termasuk posisi planet, dan sudutnya, akan berpengaruh pada kita, menurut astrologi yang kini masih dipakai.
Namun pada saat itu, astronomi kuno masih menganggap Bumi adalah pusat semesta, sehingga ilmu astrologi adalah interpretasi pengaruhnya kepada kita. Maka saat itu, astronomi dan astrologi saling terhubung.
Antara sains dan pseudosains
Salah satu astronom-astrolog yang menyebarkan pengaruhnya adalah Claudius Ptolameus (90-168 M) lewat karyanya, Tetrabiblos (empat buku). Buku ini menjadi sangat penting dalam sejarah pemetaan kecepatan dan rotasi secara akurat.
"[Buku] Itu cara orang menghitung kalender selama 1.500 tahun. Itu sangat akurat. Itu dibuat dengan indah." Joan L. Richrads, sejarawan bidang ilmu pengetahuan dari Brown University, dikutip dari Vox.
"Dia tidak membagi dunia antara sains dan bukan sains. Dunia yang dibuat Ptolameus adalah dunia tempat astrologi masuk akal". Pengetahuan Ptolameus pun terseber di Yunani, Timur Tengah, Mesir, hingga India.
Baca Juga: Mengapa Dulu Ramalan Bintang Digunakan untuk Usir Setan?
Menjelang masa renaisans, astrologi dan astronomi mulai terpisah untuk selamanya, semenjak Nicholas Copernicus dan Galileo Galilei menemukan bahwa Bumi bukanlah pusat semesta.
Jarak itu makin menjauh seiring metode dan sistem ilmiah digunakan, dan menghasilkan banyak temuan saintifik seperti gravitasi, ujar Richards. Astronomi diterima karena dapat dilacak dalam ragam penelitian. Sedangkan interpretasi maupun ramalan lewat astrologi termasuk pseudosains (ilmu semu atau tidak ilmiah).
Kendati demikian, mengapa masih banyak yang mempercayai astrologi dan dimunculkan di media cetak maupun elektronik?
Efek Barnum-Forer
Jawaban pertama adalah Efek Barnum-Forer, sebuah fenomena psikologi yang menerima semua umpan balik kepribadian palsu yang dipaparkan oleh astrolog.
Tak hanya pada astrologi, efek validasi pada pribadi ini terjadi pula setelah dibacakan peramal, dukun, pembaca kartu tarot, hingga media (Tobacyk, Jerome et.al. 2010).
Psikolog University of California Bertram Forer pada 1948 menjalankan eksperimen yang dapat menjelaskan dampak tersebut. Dalam makalahnya, ia memaparkan kepribadian mahasiswanya, dan menanyakan sebearapa akurat bacaan itu.
Paparan itu bukan berdasarkan teori kepribadian yang ilmiah, melainkan dari kios koran yang menjelaskan kepribadian hanya secara luas. Hasilnya, mahasiswa dengan mudahnya tertipu dan menerimanya.
Efek ini sangat optimal bagi pernyataan positif yang diterima banyak orang. Pernyataan itu mengandung kata-kata persuasif dan bermakna luas, seperti kata 'rata-rata', 'cukup', 'biasanya', atau 'umumnya'.
Contoh, mungkin Anda akan kenal pernyataan yang mirip seperti ini:
"Seseorang dengan zodiak Cancer umumnya cukup bisa menjaga komitmen.""Ayo dong, Taurus, jang mau digantung terlalu lama."
Baca Juga: Bagaimana Ramalan-Ramalan Nostradamus Dapat Memengaruhi Dunia Kita?
Buruknya, Efek Barnum-Forer dapat menyebabkan bias identifikasi diri, seperti menerima sifat positif yang dibacakan tapi menolak yang negatif (MacDonald, Dany J & Standing, Lionel G. 2002).
Michael Birnbaum, psikolog California State University, merasa resah dengan efek Barnum-Forer digunakan para pesulap untuk mengekspos kepalsuan di radio dan televisi. Para penyihir atau pesulap ini menjalankan trik secara tidak etis dan mengklaim kekuatan sihir, batin, atau kemampuan berkomunikasi dengan orang mati, tulisnya dalam esai singkatnya.
"Psikolog sejati merasa ngeri dengan praktik ini, tetapi ada uang yang bisa dihasilkan oleh tokoh radio, sehingga permainan terus berlanjut." terang Birnbaum.
Hikmah dari demonstrasi efek Barnum-Forer ini adalah, Birnbaum memaparkan, "validasi diri bukanlah validasi. Jangan tertipu oleh psikoterapis dukun, atau penyembuh iman palsu yang menggunakan trik ini pada Anda!"
"Bersikaplah skeptis dan mintalah bukti. Simpan uang Anda di dompet, dompet Anda dimasukan ke saku, dan jaga dompet Anda," pungkasnya.
Baca Juga: Ilmuwan Temukan Planet dan Bintang yang Sangat Mirip Bumi dan Matahari