Gen Pengembara

By , Jumat, 21 Desember 2012 | 11:45 WIB

Tidak semua orang gatal ingin mengendarai roket atau mengarungi samudra tak berbatas. Tetapi sebagai spesies, manusia dianugerahi rasa penasaran, sehingga rela membayar mahal dan mengelu-elukan para petualang yang berhasil pulang.

Ya, kita menjelajah untuk mencari tempat tinggal yang lebih baik atau memperluas wilayah kekuasaan atau meraih kekayaan. Tetapi kita juga menjelajahi suatu tempat hanya untuk mencari tahu apa yang ada di sana. “Tidak ada mamalia lain yang sibuk ber­pindah-pindah seperti kita,” ungkap Svante Pääbo, direktur Max Planck Institute for Evo­lu­tionary Anthropology di Leipzig, Jerman, tem­pat­nya menggunakan genetika untuk mem­pelajari asal-usul manusia.!break!

“Kita me­lompati perbatasan, menerobos wilayah baru walaupun sudah memiliki sumber daya di tempat asal kita. Binatang lain tidak me­lakukan ini. Manusia lain pun tidak. Manusia neanderthal berjaya selama ratusan hingga ribuan tahun, tetapi mereka tidak pernah ber­pencar ke seluruh dunia. Hanya dalam 50.000 tahun, kita sudah sampai ke mana-mana. Ada semacam kegilaan yang dimiliki manusia. Saat mengarungi samudra, Anda tidak tahu apa yang ada di sisi lain. Dan kini kita menyasar Mars. Kita tidak pernah berhenti. Mengapa?”

Pääbo dan para ilmuwan lainnya yang me­renungi pertanyaan ini juga penjelajah di ranah baru. Namun, tetap saja, penelitian tentang apa yang membuat manusia gatal menghadapi dorongan untuk menjelajah adalah ranah yang menggoda. Apakah yang menggerakkan kita dari Afrika menuju bulan dan seterusnya?

Jika dorongan untuk menjelajah dibawa sejak lahir, barangkali akarnya terdapat di dalam gen kita. Nyatanya, betul ada mutasi yang kerap muncul dalam berbagai diskusi soal ini: sebuah varian gen bernama DRD4.

Gen ini berperan dalam membantu me­ngendalikan dopamin, zat kimia pembawa pesan di otak yang penting dalam proses pem­belajaran dan peraihan kepuasan. Para peneliti telah berulang kali mencari keterkaitan varian, yang dikenal sebagai DRD4-7R dan dimiliki oleh sekitar 20 persen manusia dengan rasa pe­­nasaran dan keinginan untuk men­jelajah.

Puluhan kajian tentang manusia men­dapati bahwa 7R menjadikan manusia lebih rela me­ngambil risiko; mengeksplorasi tempat, gagasan, makanan, hubungan, obat-obatan, atau peluang seksual baru; dan secara umum menyambut baik perubahan dan petualangan.

Yang paling menarik, beberapa penelitian me­­ngait­kan 7R dengan migrasi manusia. Pe­nelitian genetika berskala besar pertama, yang dipimpin Chuansheng Chen dari University of California pada 1999, men­dapati bahwa 7R lebih umum ditemukan dalam masyarakat modern berbudaya migrasi daripada yang menetap.

Pernyataan ini didukung oleh se­buah penelitian berskala lebih besar dan lebih berlandasan statistika pada 2011, yang meng­ungkap­­kan bahwa 7R, di luar dugaan, cen­derung lebih sering ditemukan dalam populasi yang leluhurnya bermigrasi lebih jauh setelah keluar dari Afrika.

Kedua penelitian itu tidak bermaksud membuktikan bahwa formasi 7R dari gen-lah yang menjadikan para leluhur pe­ngembara; untuk menguji keakuratan premis tersebut kita harus kembali ke masa lalu. Tetapi keduanya mendukung gagasan bahwa varian 7R bertahan dalam gaya hidup nomaden.!break!

Penelitian lain yang lebih mutakhir turut men­dukung gagasan ini. Di antara penduduk Suku Ariaal di Afrika, pembawa gen 7R cen­derung lebih perkasa dan kuat makan daripada rekan-rekan non-7R mereka jika hidup dalam suku nomaden; ini barangkali mencerminkan kebugaran yang lebih baik untuk menjalani ke­hidupan nomaden dan status yang lebih tinggi.

Kendati begitu, pembawa 7R cenderung kurang gizi jika menetap di desa. Jadi, nilai varian tersebut, seperti kebanyakan gen dan sifat bawaan lainnya, tergantung pada ling­kungannya. Seorang pengembara mungkin dapat bertahan di lingkungan yang berubah-ubah namun justru melemah di lingkungan yang stabil; begitu pula gen apa pun yang mem­bantu melahirkan dorongan mengembara.