Tidak semua orang gatal ingin mengendarai roket atau mengarungi samudra tak berbatas. Tetapi sebagai spesies, manusia dianugerahi rasa penasaran, sehingga rela membayar mahal dan mengelu-elukan para petualang yang berhasil pulang.
Ya, kita menjelajah untuk mencari tempat tinggal yang lebih baik atau memperluas wilayah kekuasaan atau meraih kekayaan. Tetapi kita juga menjelajahi suatu tempat hanya untuk mencari tahu apa yang ada di sana. “Tidak ada mamalia lain yang sibuk berpindah-pindah seperti kita,” ungkap Svante Pääbo, direktur Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology di Leipzig, Jerman, tempatnya menggunakan genetika untuk mempelajari asal-usul manusia.!break!
“Kita melompati perbatasan, menerobos wilayah baru walaupun sudah memiliki sumber daya di tempat asal kita. Binatang lain tidak melakukan ini. Manusia lain pun tidak. Manusia neanderthal berjaya selama ratusan hingga ribuan tahun, tetapi mereka tidak pernah berpencar ke seluruh dunia. Hanya dalam 50.000 tahun, kita sudah sampai ke mana-mana. Ada semacam kegilaan yang dimiliki manusia. Saat mengarungi samudra, Anda tidak tahu apa yang ada di sisi lain. Dan kini kita menyasar Mars. Kita tidak pernah berhenti. Mengapa?”
Pääbo dan para ilmuwan lainnya yang merenungi pertanyaan ini juga penjelajah di ranah baru. Namun, tetap saja, penelitian tentang apa yang membuat manusia gatal menghadapi dorongan untuk menjelajah adalah ranah yang menggoda. Apakah yang menggerakkan kita dari Afrika menuju bulan dan seterusnya?
Jika dorongan untuk menjelajah dibawa sejak lahir, barangkali akarnya terdapat di dalam gen kita. Nyatanya, betul ada mutasi yang kerap muncul dalam berbagai diskusi soal ini: sebuah varian gen bernama DRD4.
Gen ini berperan dalam membantu mengendalikan dopamin, zat kimia pembawa pesan di otak yang penting dalam proses pembelajaran dan peraihan kepuasan. Para peneliti telah berulang kali mencari keterkaitan varian, yang dikenal sebagai DRD4-7R dan dimiliki oleh sekitar 20 persen manusia dengan rasa penasaran dan keinginan untuk menjelajah.
Puluhan kajian tentang manusia mendapati bahwa 7R menjadikan manusia lebih rela mengambil risiko; mengeksplorasi tempat, gagasan, makanan, hubungan, obat-obatan, atau peluang seksual baru; dan secara umum menyambut baik perubahan dan petualangan.
Yang paling menarik, beberapa penelitian mengaitkan 7R dengan migrasi manusia. Penelitian genetika berskala besar pertama, yang dipimpin Chuansheng Chen dari University of California pada 1999, mendapati bahwa 7R lebih umum ditemukan dalam masyarakat modern berbudaya migrasi daripada yang menetap.
Pernyataan ini didukung oleh sebuah penelitian berskala lebih besar dan lebih berlandasan statistika pada 2011, yang mengungkapkan bahwa 7R, di luar dugaan, cenderung lebih sering ditemukan dalam populasi yang leluhurnya bermigrasi lebih jauh setelah keluar dari Afrika.
Kedua penelitian itu tidak bermaksud membuktikan bahwa formasi 7R dari gen-lah yang menjadikan para leluhur pengembara; untuk menguji keakuratan premis tersebut kita harus kembali ke masa lalu. Tetapi keduanya mendukung gagasan bahwa varian 7R bertahan dalam gaya hidup nomaden.!break!
Penelitian lain yang lebih mutakhir turut mendukung gagasan ini. Di antara penduduk Suku Ariaal di Afrika, pembawa gen 7R cenderung lebih perkasa dan kuat makan daripada rekan-rekan non-7R mereka jika hidup dalam suku nomaden; ini barangkali mencerminkan kebugaran yang lebih baik untuk menjalani kehidupan nomaden dan status yang lebih tinggi.
Kendati begitu, pembawa 7R cenderung kurang gizi jika menetap di desa. Jadi, nilai varian tersebut, seperti kebanyakan gen dan sifat bawaan lainnya, tergantung pada lingkungannya. Seorang pengembara mungkin dapat bertahan di lingkungan yang berubah-ubah namun justru melemah di lingkungan yang stabil; begitu pula gen apa pun yang membantu melahirkan dorongan mengembara.