Gen Pengembara

By , Jumat, 21 Desember 2012 | 11:45 WIB

Jadi apakah 7R benar-benar gen pengembara atau yang oleh sebagian orang disebut gen pe­tualang? Menurut Kenneth Kidd, ahli genetika keevolusian dan populasi dari Yale University, pernyataan itu berlebihan.

Kidd tidak sem­barang­an bicara, karena dia merupakan bagi­an dari tim yang menemukan varian 7R 20 tahun silam. Selayaknya seorang skeptisis, dia berpendapat bahwa kebanyakan penelitian yang menghubungkan 7R dengan sifat penjelajah ber­pijak pada metode dan kalkulasi yang rapuh.

Dia juga menekankan bahwa tumpukan kajian yang mendukung pengaitan 7R dengan sifat pen­jelajah dilawan oleh tumpukan lainnya yang berpendapat sebaliknya. “Anda tidak bisa begitu saja mengecilkan se­suatu sekompleks penjelajahan manusia menjadi satu gen,” ujarnya sambil tertawa. “Genetika tidak bekerja seperti itu.”

Menurut Kidd, sebaiknya dipikirkan bagai­mana sekelompok gen dapat meletakkan fondasi bagi tingkah tersebut. Mengenai hal ini, dia dan sebagian besar peneliti 7R sependapat: Apa pun kesimpulan akhir kita tentang peran 7R dalam memunculkan keinginan mengembara, tidak satu pun gen atau set gen dapat memunculkan dorongan mengembara dalam diri kita.

Lebih tepatnya, kelompok-kelompok gen yang berlainan berkontribusi dalam memunculkan berbagai sifat. Sebagian memungkinkan kita me­­­ngem­bara, dan sebagian lainnya, 7R bisa jadi ada di antaranya, menekan kita untuk me­lakukannya. Secara singkat, akan membantu jika kita tidak hanya memikirkan dorongan untuk menjelajah tetapi juga kemampuan kita, bukan hanya motivasi melainkan juga sarananya.!break!

Se­belum bisa bertindak untuk memenuhi dorongan, kita memerlukan alat atau sifat yang memungkinkan dilakukannya penjelajahan.

Beruntung, saya hanya perlu turun satu lantai dari kantor Kidd untuk menemukan seseorang yang mempelajari tentang alat tersebut: ahli ge­netika perkembangan dan keevolusian Jim Noonan. Risetnya berfokus pada gen yang mem­­bangun dua sistem kunci: tubuh dan otak kita.

“Pendapat saya bias,” katanya ketika saya mendesaknya tentang apa yang menjadikan manusia pengembara. “Tetapi jika Anda ingin tahu, menurut saya kemampuan kita untuk men­jelajah berasal dari dua sistem itu.”

Gen yang membentuk badan dan otak manusia, menurut Noonan, kurang lebih sama dengan gen yang membentuk bagian-bagian yang sama pada hominid dan primata. Pada manusia, hasilnya tungkai dan pinggul yang me­­­mungkinkan kita berjalan jauh, tangan yang sangat cekatan, dan otak yang jauh lebih cerdas.

Otak kita tumbuh jauh lebih lambat, namun jauh lebih besar daripada otak primata lainnya. Trio organ itulah yang membedakan kita dari primata dan hominid lainnya. Bersama-sama, ujar Noonan, perbedaan-per­bedaan ini menghasilkan satu set sifat unik yang sesuai untuk menciptakan pen­jelajah.

Kita memiliki mobilitas tinggi dan keterampilan luar biasa, “dan, satu otak besar yang mampu berpikir imajinatif.” Dan masing-masing saling memperkuat. “Pikirkanlah sebuah alat,” kata Noonan. “Jika Anda bisa memakainya dengan baik dan memiliki imajinasi, Anda akan memikirkan cara lain untuk menggunakannya.” Sembari me­reka-reka cara lain, Anda membayangkan lebih banyak hasil yang bisa diraih dengan bantuan alat itu.

Lingkaran imbal balik ini membantu mem­­­berdayakan penjelajah ternama Ernest Shackleton—dan menyelamatkannya saat dia terdampar di Pulau Elephant pada 1916. Setelah kapal mereka menabrak gunung es, Shackleton, 1.300 kilometer dari daratan terdekat bersama 27 pria kelelahan, sedikit makanan, dan tiga sekoci kecil terbuka, memulai sebuah perjalanan laut gila dan ambisius.